AESENNEWS.COM, – Idulfitri bukan sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Lebih dari itu, Idulfitri merupakan momentum bagi setiap muslim untuk kembali kepada fitrah, yakni keadaan suci sebagaimana bayi yang baru lahir. Tafsir, menegaskan bahwa Idulfitri memiliki makna yang lebih dalam dibanding sekadar tradisi tahunan.
Menurut Tafsir, makna Idulfitri dapat dipahami dari ungkapan “minal aidzin wal faizin”, yang berarti kembali kepada kesucian dan memperoleh kemenangan. Selama Ramadan, umat Islam berusaha membersihkan diri dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah, tetapi kebersihan spiritual ini tidak cukup jika hanya terjalin antara manusia dan Tuhannya. Kesucian juga harus diwujudkan dalam hubungan antar sesama manusia. Oleh karena itu, memasuki bulan Syawal, ada tradisi halal bihalal sebagai bentuk pembersihan sosial.
“Masuk Syawal maka kita juga harus bersih-bersih kepada sesama. Maka itu yang disebut dengan halal bihalal,” ungkap Tafsir dalam ceramahnya.
Halal Bihalal: Lebih dari Sekadar Tradisi
Dalam Islam, Idulfitri memiliki ketetapan syariat yang jelas, yakni pelaksanaan salat Idulfitri. Jika hanya berdasarkan syariat, maka perayaan lebaran sebenarnya selesai setelah salat Id. Namun, di Indonesia, budaya halal bihalal berkembang menjadi bagian dari perayaan Idulfitri.
Tafsir menjelaskan bahwa halalbihalal bukan hanya tradisi tanpa makna, tetapi memiliki nilai yang sangat penting dalam ajaran Islam. Konsep halal bihalal mencerminkan ajaran bahwa kebersihan spiritual tidak hanya bersifat vertikal—antara manusia dengan Allah SWT—tetapi juga horizontal, yaitu antar sesama manusia.
“Kenapa halalbihalal? Karena bersih kepada Allah belum cukup, jadi harus bersih kepada sesama,” kata Tafsir.
Dalam ajaran Islam, meminta maaf kepada Allah SWT atas kesalahan yang dilakukan terhadap-Nya cukup dengan bertobat dengan sungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Baca juga, Ketupat dan Bedug: Simbol Islam dalam Akulturasi Budaya Jawa
Namun, ketika kesalahan itu berkaitan dengan orang lain, maka penyelesaiannya tidak cukup hanya dengan beristighfar kepada Allah SWT. Manusia harus meminta maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan.
Maaf yang Harus Berbalas
Tafsir menegaskan bahwa pemaafan kepada Allah SWT bersifat satu arah. Artinya, manusia cukup memohon ampun kepada Allah, dan Allah yang Maha Pengampun akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Berbeda dengan hubungan antar manusia, permintaan maaf tidak bisa berjalan satu arah.
“Kita tidak cukup satu arah dari kita kepada Allah SWT, tetapi bersih kepada sesama harus dua arah,” ujar Tafsir.
Dalam praktiknya, permintaan maaf kepada sesama haruslah mendapat respons. Tafsir mencontohkan bagaimana komunikasi dalam era modern seharusnya tetap mempertahankan esensi silaturahmi yang dua arah. Jika seseorang meminta maaf melalui pesan singkat, maka pesan tersebut harus dibalas sebagai tanda bahwa maaf telah diterima. Jika tidak ada respons, maka proses saling memaafkan belum sempurna.
Kesadaran akan pentingnya hubungan baik dengan sesama ini tercermin dalam ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis disebutkan:
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
“Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa keberagamaan seseorang tidak hanya diukur dari ibadahnya kepada Allah, tetapi juga dari bagaimana ia menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.
Menghidupkan Makna Idulfitri dalam Kehidupan Sehari-hari
Lebih dari sekadar momen tahunan, Idulfitri dan halalbihalal seharusnya menjadi refleksi bagi umat Islam dalam menjaga kebersihan hati. Tradisi saling memaafkan tidak boleh berhenti hanya di bulan Syawal, tetapi harus menjadi kebiasaan yang terjaga sepanjang tahun.
Dengan demikian, Idulfitri bukan hanya perayaan kemenangan setelah berpuasa, tetapi juga momentum untuk memperbaiki hubungan dengan sesama. Halal bihalal bukan hanya sekadar tradisi sosial, melainkan bentuk nyata dari ajaran Islam dalam menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya
@Kuswadi -Kudus