-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

Apa yang menjadi syarat-syarat sah perjanjian, serta mana yang merupakan syarat subjektif dan syarat objektif ?

AESENNEWS.COM
Monday, October 28, 2024, 12:17:00 PM WIB Last Updated 2024-10-28T05:17:11Z

AESENNEWS.COM - Syarat-syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Syarat-syarat ini dibagi menjadi syarat subjektif dan syarat objektif sebagai berikut:

1. Syarat Subjektif - Syarat subjektif berfokus pada para pihak yang membuat perjanjian, yaitu kemampuan mereka untuk membuat perjanjian dan adanya kesepakatan antar pihak. Jika syarat subjektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang dirugikan. Berikut rinciannya:
  • Kesepakatan para pihak: Perjanjian dianggap sah apabila terdapat persetujuan yang tulus dan bebas dari kesalahan, penipuan, atau paksaan dari kedua belah pihak. Kesepakatan ini berarti bahwa para pihak memahami dan setuju dengan isi perjanjian tanpa adanya tekanan.
  • Kecakapan untuk bertindak: Para pihak dalam perjanjian harus memiliki kapasitas hukum untuk melakukan perjanjian, yang berarti tidak berada di bawah umur, tidak dalam pengampuan, dan tidak dilarang oleh hukum. Jika pihak yang membuat perjanjian tidak cakap, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
  • Analisis: Syarat subjektif ini sangat penting untuk melindungi hak-hak individu agar tidak merasa dirugikan atau tertekan saat membuat perjanjian. Dengan adanya kesepakatan yang benar dan kecakapan bertindak, hukum memastikan bahwa para pihak masuk ke dalam perjanjian dengan kehendak yang bebas dan sadar.

2. Syarat Objektif - Syarat objektif berkaitan dengan objek atau substansi dari perjanjian itu sendiri, yaitu adanya objek tertentu dan kausa yang halal. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dianggap batal demi hukum, yang berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

  • Adanya objek tertentu: Objek perjanjian harus jelas, spesifik, dan dapat diukur atau ditentukan. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, barang atau jasa yang diperjanjikan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
  • Kausa yang halal: Tujuan dari perjanjian harus sah dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum. Apabila perjanjian memiliki tujuan yang melanggar hukum atau norma sosial, maka perjanjian itu dianggap tidak sah.
  • Analisis: Syarat objektif ini bertujuan untuk memastikan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat secara formal, tetapi juga secara substansial memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum dan moralitas masyarakat. Hal ini penting agar perjanjian dapat diakui oleh hukum sebagai sah dan memiliki akibat hukum yang mengikat para pihak.
Kesimpulan: 

Agar suatu perjanjian dianggap sah, baik syarat subjektif maupun objektif harus terpenuhi. Jika syarat subjektif dilanggar, perjanjian dapat dibatalkan atas dasar ketidaksahihan para pihak, sedangkan jika syarat objektif dilanggar, perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada.

Berikut adalah dasar literatur yang mendukung penjelasan mengenai syarat sahnya perjanjian, yang terdiri dari syarat subjektif dan syarat objektif:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1320: Pasal ini menetapkan empat syarat sahnya perjanjian, yang meliputi (1) kesepakatan para pihak, (2) kecakapan bertindak, (3) objek yang tertentu, dan (4) sebab atau kausa yang halal. Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif yang berkaitan dengan para pihak, sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif yang berkaitan dengan isi perjanjian.

Subekti, Hukum Perjanjian (1985): Dalam bukunya, Subekti menguraikan syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata, dan menjelaskan bahwa syarat subjektif bertujuan melindungi hak individu agar tidak dirugikan dalam perjanjian, sedangkan syarat objektif menjamin bahwa perjanjian tersebut memiliki substansi yang sesuai dengan hukum dan norma masyarakat.

Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU) (2006): Buku ini mengulas secara rinci mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian dan pentingnya pemenuhan syarat subjektif dan objektif. Salim HS juga menjelaskan akibat hukum jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, di mana pelanggaran syarat subjektif dapat menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, sementara pelanggaran syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perjanjian dalam Hukum Indonesia (1984): Kedua penulis ini menjelaskan konsep perjanjian dalam hukum Indonesia, termasuk analisis mengenai syarat sahnya perjanjian dan pembagian syarat subjektif dan objektif. Buku ini menjadi referensi dalam memahami perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian serta pentingnya kesepakatan bebas dan kecakapan hukum.

R. Subekti, Aneka Perjanjian (1992): Subekti membahas dampak hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif, di mana ia menguraikan bahwa syarat subjektif berkaitan dengan niat dan kapasitas para pihak dalam perjanjian, sementara syarat objektif memastikan perjanjian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Buku Law of Contract karya Cheshire, Fifoot, and Furmston (1991): Meskipun berfokus pada hukum kontrak Inggris, buku ini menjelaskan konsep-konsep dasar kontrak yang umum diterapkan dalam hukum perdata, termasuk persetujuan dan kapasitas sebagai syarat subjektif serta legalitas dan objek tertentu sebagai syarat objektif. Prinsip ini juga banyak diadaptasi dalam sistem hukum perdata Indonesia.

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III tentang Perikatan dengan Penjelasan (1994): Buku ini menjelaskan lebih lanjut tentang aturan perjanjian dalam KUHPerdata dan memberikan analisis yang mendalam mengenai syarat sahnya perjanjian serta perbedaannya antara syarat subjektif dan objektif, lengkap dengan contoh-contoh penerapannya dalam hukum Indonesia.

Komentar

Tampilkan

  • Apa yang menjadi syarat-syarat sah perjanjian, serta mana yang merupakan syarat subjektif dan syarat objektif ?
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x