AESENNEWS.COM - Penalaran hukum memperlihatkan eratnya hubungan antara logika dan hukum. Logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat dapat memikirkan hukum. Atau sebaliknya, ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya bersifat logis juga. Legal Reasoning merupakan penelusuran/penalaran tentang hukum dimana pencarian atau penelusuran “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara mengargumentasikan hukum. Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari atau menelusuri dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada
Dalam hal penalaran hukum (legal reasoning), dikenal dua metode dalam melakukan penalaran yakni metode penalaran deduktif dan metode penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan suatu prosedur penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan yang bersifat lebih khusus. Pola penarikan kesimpulan dalam metode ini merujuk pada pola pikir yang biasa disebut dengan silogisme, yang mana berawal dari suatu pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan dan kedua pernyataan tersebut sering disebut dengan premis mayor dan premis minor, serta diikuti dengan penyimpulan yang didapat melalui penalaran dari kedua premis itu. Namun kesimpulan ini hanya bernilai benar jika kedua premis benar dan cara yang digunakan juga valid, serta hasilnya mengandung koherensi dari premis tersebut
Kelebihannya terdapat pada faktor kebutuhan fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi materinya, hal ini berpengaruh pada penggunaan waktu yang lebih efisien. Selain itu, pendekatan ini sesuai untuk digunakan dalam proses pembelajaran, dan adanya sifat dari deduksi di mana kesimpulannya merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Jika premis benar, maka kesimpulan akan benar. Adapun kelemahannya, terdapat pada aktivitas penarikan yang dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Selain itu, jika salah satu dari kedua premisnya, atau bahkan semua premis salah, maka akan menimbulkan kesimpulan yang salah pula. Terlebih, kesimpulan yang diambil berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya bertumpu pada logika deduktif saja.
Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran dedukatif. Karakteristik dari penalaran induktif adalah adanya generalisasi. Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama ialah induksi lengkap, dimana generalisasi yang dilakukan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun, jika tidak semua premis itu diamati secara teliti, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Bahkan ketika seseorang seusai mengamati suatu hal partikular lalu mengeneralisasikannya, maka sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini dapat benar atau salah, namun yang pentung adalah agar tidak terjadi kecerobohan generalisasi itu sendiri.
Baik penalaran induktif atau deduktif memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Namun perlu dipahami keduanya telah memberi corak cara berpikir ilmiah modern saat ini. Jika berpijak pada induktif saja maka ilmu pengetahuan akan berada pada kegelapan ilmiah begitu pula jika hanya pada deduktif belaka, maka ia tidak akan maju. Oleh karena itu, orang kemudian mencoba menggabungkan, memodifikasi dan mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini, atau dalam istiah John Dewey disebut dengan berpikir reflektif. Dan langkah-langkah metode ilmiah itu dikemukakan oleh Anderson sebagai berikut: Perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan eksperimen, pengumpulan dan pengolahan data, pengambilan kesimpulan.
Kemudian contoh legal reasoning dalam putusan 3/Pid.B/2012/PN.Klt (kasus: Amanat Keagungan Ilahi) tatkala harus mensilogismekan unsur “barangsiapa”, hakim biasanya cukup berangkat dari pengertian bahwa setiap penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum) adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP. Dengan demikian, di fulan yang menjadi terdakwa di dalam suatu kasus adalah penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum), sehingga si fulan tersebut adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP. Dalam rumusan Pasal 156a KUHP, kondisi norma “dengan sengaja” dan “di muka umum” ditaruh pada bagian berikutnya setelah kata “barangsiapa”. Oleh sebab itu, banyak putusan hakim yang membuat pertimbangan untuk mensilogismekan bagian ini terlebih dulu sebelum masuk ke objek norma.
Pada bagian kondisi norma yang umum ini, relatif juga tidak banyak kendala ditemui. Frasa kata “dengan sengaja” selama ini sudah dimaknai secara cukup luas oleh para hakim sebagai “kesadaran penuh dan keinsyafan (pemahaman) tentang perbuatan dan apa akibatnya” (willen en wetten). Ditemukan ada satu putusan yang menggarisbawahi bahwa “kesengajaan” di sini dimaknai secara luas mencakup ketiga gradasi kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids of nood zekelijkheids bewustzijn), dan kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus evantualis). Para hakim biasanya akan mulai dari premis mayor ini untuk menetapkan silogisme yang dibangunnya guna menentukan terpenuhinya kondisi ini.
Frasa lain dari kondisi norma berikutnya adalah “di muka umum”. Pada frasa ini tidak semua putusan hakim terkait Pasal 156a KUHP berusaha terlebih dulu memaparkan definisi konseptual tentang makna “di muka umum”. Untuk menghindari perumusan tersebut, maka hakim biasanya akan langsung masuk ke fakta, dengan menunjukkan bahwa terdakwa sudah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatannya itu di hadapan beberapa orang. Kesulitan terbesar ada pada saat hakim masuk ke dalam unsur kondisi norma huruf a dan huruf b, yaitu tentang: “perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan ” perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
• Ajaran yang menyatakan saat ini ada wahyu selain yang disampaikan Allah kepada Nabi SAW sebagai nabi terakhir adalah penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia.
• Praktik pengobatan dengan membawa nama dan ajaran AKI yang berdasarkan pertimbangan di atas adalah perbuatan penyalahgunaan agama Islam sekaligus permusuhan terhadap umat/pemeluk agama Islam.
• Poster yang terkandung simbol-simbol agama Islam dan mengesankan seakan-akan seperti firman Allah merupakan tindakan menyesatkan dan menodai agama/kitab suci umat Islam.
• Tindakan menyebarkan ajaran AKI dengan sengaja memasang poster ajaran AKI adalah perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia.