Untuk memenuhi tujuan dari UUPK pasal 3 angka (1) tentang perlindungan konsumen maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan, ada beberapa lembaga yang diatur di UUPK diantaranya adalah BPSK, BPKN dan LPKSM. Sebutkan tugas-tugas dari BPSK, BPKN dan LPKSM dan bagaimana implementasinya di lapangan disertai contoh.
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) UU Perlindungan Konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (“BPKN”) adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. BPKN dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen,[1] dan memiliki fungsi dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, BPKN memiliki tugas sebagai berikut:
1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; dan
7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Anggota dari BPKN sendiri terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, akademisi, dan tenaga ahli.
Pada dasarnya, BPKN dibentuk sebagai pengembangan upaya perlindungan konsumen yang berkaitan dengan
1.pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha;
2.pengaturan larangan bagi pelaku usaha;
3.pengaturan tanggung jawab pelaku usaha; dan
4.pengaturan penyelesaian sengketa konsumen.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“LPKSM”) diatur dalam Pasal 1 ayat (9) UU Perlindungan Konsumen, yakni sebuah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Pengakuan pemerintah terhadap LPKSM bukanlah tanpa syarat, artinya lembaga tersebut harus terdaftar di pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan, dan bukan perizinan.
2. Berikut adalah tugas LPKSM yang diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen:
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; dan
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai tugas LPKSM diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sebagai contoh,
dalam melaksanakan tugas sebagaimana tercantum di atas, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PP 89/2019, LPKSM dapat bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen melalui LPKSM ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada tanggal 11 Mei 1973, yang didirikan dengan tujuan membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan jasa.
Pasal 1 ayat (11) UU Perlindungan Konsumen mendefinisikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) yakni sebuah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
3. Tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen, yang terdiri dari:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perlindungan Konsumen.
Implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum juga berakibat terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis. Akibatnya, lembaga pengadilan dianggap kurang efektif dan efisien dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa bisnis yang diajukan. Dengan demikian, pelaku usaha memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di luar pengadilan.
Selain itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan menawarkan beberapa karakteristik seperti:
1. terjaminnya kerahasiaan
2. melibatkan para ahli dalam bidangnya
3. prosedur cepat dan sederhana
4. putusan final dan mengikat
5. putusan tidak dipublikasikan tanpa izin para pihak.
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis yang berjumlah ganjil, paling sedikit 3 orang yang mewakili unsur pemerintah, konsumen, pelaku usaha, dan dibantu oleh seorang panitera. Dan untuk menghindari proses penyelesaian sengketa konsumen yang berlarut-larut, berdasarkan Pasal 55 UU Perlindungan Konsumen, setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja.
Ketentuan tersebut dinilai penting untuk konsumen, mengingat posisi konsumen yang berada di bawah pelaku usaha. Maka, melalui proses penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat, akan menguntungkan konsumen guna menghindari biaya yang tinggi. Keuntungan juga diterima oleh pelaku usaha, yakni pelaku usaha pada umumnya sangat berminat terhadap penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat, karena hal tersebut berkaitan dengan kegiatan bisnis yang membutuhkan waktu dan percepatan usaha.
Kesimpulannya, terdapat beberapa lembaga perlindungan konsumen yang pada dasarnya memiliki tujuan dan tugas yang serupa, yaitu memberikan perlindungan terhadap konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan menangani sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Lembaga-lembaga tersebut antara lain BPKN, LPKSM, dan BPSK. Ketiga lembaga atau badan tersebut pada intinya memiliki tujuan untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan ketika mengonsumsi barang dan jasa.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.