AESENNEWS.COM, Jakarta, 19 November 2023* - Guru adalah garda terdepan bagi pendidikan karakter dan moral anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Itu sebabnya, seorang guru dituntut tidak hanya memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, namun mempunyai kekuatan untuk tidak terpengaruh konflik perbedaan agama yang terjadi disekitarnya.
Untuk mencegah adanya guru yang terpengaruh ekstremisme, maka Yordania membuat program Teachers of Tomorrow (ToT). Para guru dilatih untuk mengajarkan nilai kemanusian serta mempromosikan kebebasan beragama dan melindungi hak asasi manusia.
Hal tersebut disampaikan Direktur Royal Institute for Interh-Faith Studies Yordania, Renee Hattar dalam acara panel diskusi berjudul “Teachers of Tomorrow: Preventing Violent Ekstremism Among Teachers in Yordania”. Acara ini merupakan bagian rangkaian acara dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang digelar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Institut Leimena pada 14 November 2023.
Renee mengatakan guru sebagai agen perubahan memiliki posisi signifikan, namun sepertinya halnya orang secara umum, dapat terpengaruh situasi yang terjadi di sekitar mereka. Ketika dikelilingi konflik, maka guru sangat mudah terbawa arus, termasuk situasi yang tengah terjadi di Gaza.
“Yordania sendiri dikelilingi oleh perang. Kami dikelilingi perang di Suriah, Irak, dan Palestina, Jadi Yordania benar-benar daerah yang rumit. Dengan semua kerumitan ini dalam beberapa tahun terakhir, ekstremisme telah meningkat," ujar Renee.
Menurut Renee, orang-orang berbicara tentang Islam moderat dan Islam ekstrem, namun sebenarnya hanya ada satu Islam. "Jika ada yang ekstrem, itu adalah pemikiran mereka sendiri,” kata Renee.
Rene menjelaskan lembaganya mengerjakan proyek Preventing Violent Extremism (PVE) untuk mencegah ekstremisme garis keras diantara para guru di Yordania melalui program ToT.
“Jadi kami memiliki lebih banyak tujuan yang ingin kami capai dalam proyek ini, seperti meningkatkan kapasitas kepemimpinan para guru, mempromosikan kebebasan beragama, perlindungan hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, dan juga nilai-nilai universal untuk mendorong penghormatan terhadap perbedaan,” ujar Renee.
Dia menjelaskan pada tahun-tahun pertama program, yang menjadi sasaran adalah para profesor atau guru-guru pendidikan Islam yang berada di sekolah negeri. Kemudian tahun-tahun berikutnya, pihaknya memperluas cakupan proyek tersebut kepada para guru yang mengajar ilmu humaniora di sekolah-sekolah swasta.
“Mereka adalah guru-guru yang mengajar di kelas 7-12 (SMP dan SMA). Mata pelajaran ilmu pengetahuan humaniora seperti Geografi, Sejarah, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, jadi bukan hanya guru yang mengajarkan agama Islam. Kami memperluas pelatihan ini kepada guru-guru dari berbagai agama,” terang Renee.
*Menerobos Akar Rumput*
Melalui pogram ToT dalam proyek Preventing Violent Extremism, Renee mengupayakan perubahan metodologi pengajaran lewat penambahan pembelajaran sosial dan emosional, serta kesenian sebagai metode kreatif dan tanpa kekerasan.
Sejauh ini, proyek PVE sudah dilakukan lewat 40 lokakarya dengan melibatkan sedikitnya 550 guru di Yordania. "Para guru lain berkata, proyek ini adalah masa depan negara Yordania,” ungkap Renee.
Royal Institute for Inter-Faith Studies (RIIFS) didirikan tahun 1994 di Amman, Yordania, sebagai organisasi nirlaba dan non-pemerintah, namun berada di bawah naungan Yang Mulia Pangeran Yordania, El Hassan bin Talal.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena mengatakan Indonesia melalui program literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) yang diadakan Institut Leimena bersama sedikitnya 20 mitra juga berupaya mengarusutakan literasi agama berlandaskan penghargaan harkat dan martabat manusia. Hal itu penting sebagai modal sosial untuk masyarakat damai dan inklusif.
"Program LKLB di Indonesia telah meluluskan hampir 6000 guru dari 34 provinsi di Indonesia," katanya.
Matius menyebut program LKLB menolong agar upaya membangun kerukunan umat beragama tidak semata normatif, sebaliknya benar-benar bisa diaplikasikan di dalam masyarakat.
“Saya sering ikut dialog antar agama yang diikuti sebatas level pengambil kebijakan atau tokoh, namun program LKLB berbeda karena mencoba menerobos ke akar rumput, sampai ke bawah dengan menyasar guru sampai ke murid yang jarang sekali tersentuh dengan program lintas agama,” ujar Matius.