AESENNEWS.COM - Kemajuan teknologi yang semakin berkembang pesat yang menimbulkan berbagai macam pro dan kontra, namun dibalik pro dan kontra tersebut banyak manfaat yang ditimbulkan namun banyak juga kerugian yang dialami oleh teknologi itu sendiri, dalam sejarah perkembangan dunia perdagangan mulai dari jaman yunani atau romai hingga saat ini memiliki kepesatan yang jauh terlebih lagi dengan adanya internet, dari penjualan secara tatap muka hingga munculnya transaksi yang disebut E-comerce, E-comerce merupakan sebuah proses terjadinya transaksi jual beli antara penjual dan pembeli yang dilakukan secara online melalui media elektronik yang memanfaatkan jaringan internet sebagai penghubung kedunya.
Sejak kemunculan e-comerce sebagai alat untuk
transaksi berbagai macan layanan barang atau jasa misalnya saja seperti shopee,
lazada, tokopedia, bukalapak dan lain sebagainya, memberikan kontribusi dalam sektor
umkm atau nonumkm yang ada diindonesia, alhasil memberikan kemajuan transaksi
jual beli tanpa bertemu tatap muka.
Namun dibalik kemanfaatan tersebut banyak dan
sering kali terjadi permasalahan hukum diantara jual beli barang atau jasa
tersebut, sehingga pemerintah mengatur e-comerce dalam perundang-undangan, agar
tidak ada yang saling merugikan terlebh lagi e-comerce bisa melakukan transaksi
antar Negara.
Dalam penyelsaian sebuah sengketa transaksi
lintas yuridis atau lintas Negara dalam transaksi e-comerce perlu menjadi
perhatian oleh pemerintah, Maka dari itu muncul bentuk penyelsaian tersebut dengan
Online Disput Resolution (ODR), Namun perlu kita ketahui terlebih dahulu, apa
itu Online Disput Resolution (ODR), Online Dispute Resolution (ODR) adalah
metode penyelesaian sengketa yang menggunakan teknologi internet dan platform
online untuk menyelesaikan konflik dan sengketa antara pihak yang terlibat
dalam transaksi, terutama dalam konteks e-commerce. ODR bertujuan untuk
memberikan cara yang lebih efisien dan efektif untuk menyelesaikan sengketa
secara online tanpa harus melalui proses hukum tradisional.
Diindonesia sendiri terdapat aturan yang dibuat
oleh pemerintah salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 80 tahun 2019
yang mengatur tentang “penyelsaian sengketa e-commerce dapat dilakukan melalui
pengadilan atau sebuah mekanisme lain secara elektronik”. Selain peraturan
perundang-undangan diatas terdapat beberapa aturan lama dalam penyesaian
persengketaan ecommerce diantaranya.
a. Undang-undang
Nomor 30 tahun 1990 UU Abritase tentang “arbitrase dan alternatife penyesaian
sengketa” yang mana didalamnya mengatur cara-cara alternative untuk
menyelsaikan sengketa melalui media elektronik.
b. Undang-undang
nomor 8 tahun 1999 tentang “perlindungan konsumen” atau UU Konsumen. Undang-undang
ini dilakukan dengan cara penyelsaian melalui metode diluar pengadilan atau non-ligitasi
oleh pihak tertentu.
c. Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang “informasi dan transaksi elektronik” atau UU ITE.
Dari beberapa dasar hukum yang dijelaskan
diatas memang tidak secara gamblang menyatakan tentang mekanisme penyelsaian
sengketa dalam transaksi elektronik khususnya E-commerce yang penyelsaiannya
melalui ODR, namun undang-undang diatas bisa dijadikan sebagai dasar atau
patokan untuk menyelsaikan persengketaan yang diharapkan. Dalam hal ini Online
Disput Resolution (ODR) penyelsaiannya bisa juga melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 80 tahun 2019 tentang perdaganan system elektronik atau ecommerce.
Kendati demikian, dari beberapa undang-undang
penyelsaian sengketa ecommerce maka perlu ada mekanisme untuk penyelsaiannya,
maka dibawah ini mekanisme secara spesifik untuk penyelsaiannya, diantaranya:
a. Penyelsaian
online
b. Abritase
online
c. Pengaduan
konsumen
d. Mediasi
online
Sejauh ini
pelaksanaan Online Disput Resolution (ODR) melalui organisasi negara dan swasta
diantaranya:
1. Mekanisme
Penyelsaian sengketa melalui Lembaga Negara
a.
Mahkamah Agung
Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 2019
tentang “E-court” yang mana memungkinkan dilaksanakan managemen sebuah perkara
proses pengadilan secara elektronik atau gugatan kecil.
b.
BANI
Dalam penyelsaian sengketa melalui BANI
biasanya dilakukan dalam keadaan khusus seperti bencana, darurat, kesulitan dan lain sebagainya. Hal tersebut tertuang
dalam SK Nomor 20.015/V/SK-BANI/HU.
c.
OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
OJK digunakan sebagai lembaga yang bisa
melakukan penyelsaian sengketa terkait keuangan atau transaksi e-commerce yang
sama halnya melalui media elektronik. Hal ini terdapat dalam aturan penerbitan
nomor 61/POJK.07/2020.
2.
Mekanisme Penyelsaian sengketa melalui Lembaga
Swasta.
a.
Shopee
Aplikasi shopee menyelsaikan sengketa terkait
dengan e-commerce antara penjual dan pembeli melalui aplikasinya sendiri yang
memungkinkan penjual dan pembeli bisa bernegosiasi dalam sebuah flatform
tertentu seperti fitur refund yang mana antara penjual dan pembeli akan saling
bernegosiasi, shopee sendiri hanya sebagai penengah apabila perselisihan
tersebut tidak dapat diselesaikan maka shopee sendiri yang akan menilai dan
memutuskan dengan melihat bukti-bukti yang ada.
b.
Tokopedia
Tokopedia juga hampir sama dengan shopee dimana
penjual dan pembeli akan saling berkomunikasi dalam sebuah flatform refund,
dimana keduanya akan saling membela diri terkait dengan barang atau jasa
tersebut. Biasanya tokopedia atau flatform lain akan menyimpan dana dari
pembeli sebelum ada penyelsaian antara penjual dan pembeli.
c.
Lazada
Antara penjual dan pembeli akan saling berkomunikasi dan pembeli
akan meminta pengembalian barang, namun harus dibuktikan kenapa harus
dikembalikan. Pembuktiannya bisa berupa video atau foto terkait dengan barang
atau jasa tersebut. Yang mana apabila sudah ditemukan penyelsaiannya makan
lazada akan memfasilitasi biasanya dalam waktu tiga hari.
Contoh Kasus Online Disput Resolution.
1. Seorang
ibu rumah tangga bernama Mira (30) yang mana seringkali berbelanja online
melalui aplikasi shopee, barang yang dibeli pada saat itu adalah sebuah koper
pada tanggal 12 agustus 2019, koper tersebut berwarna hitam dengan harga Rp. 50
ribu rupiah, sedangkan pasaran harga tas tersebut terbilang mahal berkisaran sekitar
Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta rupiah, namun karena iming-iming dari iklan penjual
di shopee tersebut akhirnya Mira (30) membeli koper tersebut, setelah tiga hari
kemudian koper pesanan tersebut tiba dirumah yang diantarkan oleh seorang kurir
dari salah satu mitra shopee. Kedatangan paket tersebut ternyata mengagetkan
mira lantaran paketan tersebut berbentuk kecil, tidak lebih besar dari ukuran
15X15X10 cm, setelah dibuka karena curiga, ahkirnya didapati bahwa koper
tersebut adalah koper mainan yang ukurannya 10x10x10 cm, sangat kecil memang. Namun
karena merasa dibohongi oleh penjual dan iklan yang diiklankan di shopee
tersebut maka Mira melakukan return barang melalui fitur yang disediakan oleh
shopee.
Diketahui sebelumnya
bahwa fitur yang disediakan shopee adalah metode penyelsaian sengketa
E-commerce antara penjual dan pembeli yakni Online Dispute Resolution. Kemudian
mengajukan return barang karena tidak sesuai. Dan shopee memfasilitasi melalui
jejaring tersebut, kemudian mira melakukan pengiriman foto, video dan pendukung
lain bahwa barang yang dipesan tersebut bukanlah pesanannya, sehingga melakukan
refund barang.
Kemudian pihak
penjual membalas gugatan return barang melalui shopee tersebut bahwa penjual
tidak menipu pembeli, bahwa apa yang dijual oleh penjual adalah koper mainan
bukan koper asli, namun Mira tetap bersikeras bahwa yang diiklankan adalah koper
asli dan ada pula bukti bahwa iklan tersebut menerangkan koper asli dengan
potongan harga dll.
Setelah beberapa
hari perdebatan dan persengketaan tersebut dilakukan melalui aplikasi shopee, maka
shopee sendiri memutuskan refund barang dan pengembalian dana, karena
disinyalir penjual telah melakukan penipuan kepada pembeli, dan akhirnya shopee
mengembalikan dana tersebut dan penjual ditutup berserta tokonya.
Dalam kasus ini
kita bisa meliha bahwa dalam penyelsaian sengketa Online Disput Resolution,
shopee memfasiliasinya apabila pendukung penuh dari bukti-bukti yang diterangkan
oleh kedua belah pihak maka shopee akan menentukan siapa yang salah dan siapa
yang benar. Sehingga penyelsaian sengketa tersebut akan berjalan baik, namun
apabila memang nilai yang besar dan tidak ada solusi, maka pembeli perlu menyelsaikan
masalah ini dilembaga Negara seperti OJK atau lembaga lain yang menangani
permasalah E-commerce melalui undang-undang perlindungan konsumen.
Rangkuman :
Online Dispute Resolution (ODR) adalah metode
penyelesaian sengketa yang menggunakan teknologi internet dan platform online
untuk menyelesaikan konflik dan sengketa antara pihak yang terlibat dalam
transaksi, terutama dalam konteks e-commerce. ODR bertujuan untuk memberikan
cara yang lebih efisien dan efektif untuk menyelesaikan sengketa secara online
tanpa harus melalui proses hukum tradisional.
Dalam penyelsaian ODR ini perlu adanya
mekanisme khusus yang dilakukan, diantaranya ada dua hal yakni melalui lembaga Negara
seperti MA, OJK atau BANI, dan Lembaga Swasta seperti e-commerce shopee,
lazada, tokopedia, bukalapak dan lain sebagainya.
Dalam penyelsaian sengketa pada lembaga Negara pasti
menggunakan dasar hukum yang sudah ditentukan dan disahkan baik UU Perlindugan
konsumen, UU ITE, UU OJK dan lain
sebagainya, sebalik dengan penyedia ecommerce akan menyelsaikan sengketa
menurut syarat dan ketentuan yang sudah di buat oleh penyedia tersebut seperti
refund dan pengembalian barang atau dana baik penjual maupun pembeli seperti
pada contoh kasus diatas. Semua e-commerce memberikan mekanisme serta cara
untuk mengatasi permasalahan persengketaan tersebut yang terjadi antara penjual
dan pembeli, sehingga tidak ada yang dirugikan.
Sumber Referensi :
1. HKUM4301,
MODUL 2, HAL. 2.13, 2.14, 2.15, 2.16
2. Konsumencerdas.id,
[2020[ online disput resolution ord di Indonesia, diakses pada 9 oktober 2023, https://konsumencerdas.id/analisis/online-dispute-resolution-odr-di-indonesia-cara-alternatif-menyelesaikan-sengketa-konsumen
3. Hukumonline.com,
[2019] mendorong penerapan penyelsaian sengketa e-commerce, diakses pada 9
oktober 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/mendorong-penerapan-odr-dalam-penyelesaian-sengketa-konsumen-e-commerce-lt60c9b9f2b560a/