-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

Berdasarkan kasus di atas, analisalah apa yang dimaksud dengan asas precutionary principle (asas kehati-hatian)! dan jelaskan contoh kasus / penerapannya di Indonesia selain pada contoh kasus di atas!

AESENNEWS.COM
Tuesday, October 24, 2023, 4:39:00 PM WIB Last Updated 2023-10-24T09:39:50Z

Precautionary principle merupakan salah satu prinsip Hukum Internasional yang relatif baru (Lothar Gundling, 1990: 23), yang dijabarkan dalam pernyataan kebijakan publik, kemudian dirumuskan dalam preamble dalam banyak perjanjian internasional (Jaye Ellies, 2006: 448). Prinsip in berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, yang tidak dipungkiri, seringkali perkembangan teknologi in membawa dampak negatif (berbahaya) yang tidak terduga bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Potensi bahaya yang dihasilkan dari teknologi dan kegiatan manusia dalam rangka pengembangan dan penerapan teknologi in tidak hanya berskala lokal namun juga global karena produk-produk baru hasil kecanggihan teknologi telah pula didistribusikan ole perusahaan multinasional dan karenanya dapat membahayakan kesehatan dan integritas fisik dari seluruh populasi dunia dan planet (air, atmosfir, iklim, tanaman, hewan dan manusia) secara reversibel.


Mencermati akan adanya potensi bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan secara luas yang mungkin ditimbulkan dari perkembangan teknologi dan kegiatan manusia sebagaimana disebutkan di atas, maka dibutuhkan sikap kehati-hatian bagi para perumus kebijakan publik. Sikap kehati-hatian ini bukan dipahami sebagai ketidakmauan untuk bertindak atau kurangnya keberanian untuk menghadapi tantangan baru, namun sebaliknya, sikap kehati-hatian bagi para perumus kebijakan publik diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat mengenai suatu produk atau kegiatan khusus di mana di dalamnva terdapat kecurigaan bahwa produk atau kegiatan tersebut mengandung potensi bahaya bag masyarakat luas namun di waktu yang sama bahaya tersebut belum dimengerti karena belum adanya bukti-bukti ilmiah (Wingspread Statement, 1998:586).

Masih banyak lagi perjanjian
internasional yang mengadopsi
precautionary principle dan merumuskannya menjadi kebijakan publik. Memperhatikan beberapa definisi precautionary principle, baik yang dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun di dalam instrumen hukum internasional, tampak bahwa formulasi precautionary principle tidaklah seragam. Namun demikian, terdapat unsur-unsur yang sama yang terkandung di dalam precautionary principle. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Adanya ketidakpastian risiko (uncertainty of risk)
Adanya ketidakpastian resiko merupakan salah satu unsur penting dalam precautionary principle. Bagi banyak kalangan, masi terdapat kesalahpahaman dalam membedakan antara "precautionary measures" (tindakan hati-hati) dengan "preventive measure" (tindakan pencegahan). Precautionary measures memiliki arti yang melampaui preventive measures.
b. Adanya penilaian ilmiah atas potensi risiko yang ditimbulkan (scientific assesment of risk)
Dalam hal ini, pelaksanaan preacutionary principle menuntut pemisahan fungsional yang jelas antara mereka yang bertanggung jawab melakukan penilaian terhadap potensi resiko (risk assessment) dengan pengambil keputusan yang terkait kebijakan publik (risk management) dengan melibatkan para pemangku kepentingan.
c. Adanya potensi kerusakan serius tau permanen (potential for serious or irreversible damage)
Terkait dengan elemen ketiga, yaitu adanya potensi kerusakan serius (serious damage) atau kerusakan permanen (irrevesible damage), perlu terlebih dahulu dibedakan antara keduanya.
d. Adanya langkah-langkah pencegahan yang proporsional
Persyaratan "proporsional" di sini berarti bahwa tidak setiap kondisi adanya potensi risiko membenarkan setiap tindakan kehati-hatian (precautionary measures). Precautionary measure hanya dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangkan dampakya terhadap masyarakat.
e. Adanya pergeseran beban pembuktian
Secara tradisional, hukum pembuktian menyatakan bahwa pemerintah (otoritas publik) harus menunjukkan alasan yang masuk akal dan berdasarkan bukti ilmiah untuk membatasi (atau melarang) penjualan suatu produk atau aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan teknologi baru.


Kesimpulan:
Berbagai formulasi precautionary principle dalam banyak instrumen hukum internasional dan nasional menandakan bahwa prinsip in mask dalam kualifikasi "high-order legal principle" yang digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan publik secara mum maupun hukum tertentu yang bersifat lebih khusus. Dari berbagai perjanjian internasional yang dibuat dengan mendasarkan pada precautionary principle, ada beberapa hal yang masih perlu dipertimbangkan untuk diatur lebih lanjut di kemudian hari jika ingin merumuskan kebijakan publik yang lebih tepat dan lebih efektif lagi.
 
Contoh kasus 

Pada tanggal 28 Januari 2003, terjadi longsor di area hutan Mandalawangi. Longsor tersebut telah mengakibatkan 20 (dua puluh) orang me-ninggal dunia, 165 rumah hancur, 67 (enam puluh tujuh) rumah rusak berat, dan telah mengakibat-kan 1769 jiwa mengungsi dan kehilangan mata pencaharian. Hasil penyelidikan Direktorat Vulka-nologi diperoleh informasi bahwa faktor-faktor penyebab longsornya Gunung Mandalawangi dikarenakan: (a) ketebalan pelapukan tanah yang mencapai 3 meter; (b) sarang (mudah meloloskan air); (c) batuan vulkanik yang belum padat; (d) kecuraman lereng 20-50 % dan bagian bawah relatif landai, dan (e) adanya perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari tanaman keras ke tanaman musiman.

Para penggugat mendasarkan gugatannya pada perbuatan melawan hukum, yaitu melaku-kan perbuatan perusakan lingkungan hutan sebagaimana diatur Pasal 1 butir 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelola-an Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) jo. Pasal 48
ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK 1999). Penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp 50.417.200.000,-(lima puluh miliar empat ratus tujuh belas juta dua ratus ribu rupiah), dan menuntut para tergugat melakukan relokasi, melakukan pemulihan kawasan hutan Mandalawangi, dan tidak melakukan penebangan sampai waktu 5 (lima) tahun. Para penggugat meminta kepada hakim agar penggugat sebagai masyarakat korban tidak perlu membuktikan kesalahan dari Tergugat I atas terjadinya longsor, karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari Tergugat I sebagai pengelola hutan di kawasan Gunung Mandalawangi.

Demikian jawaban yang dapat saya sampaikan,apabila rekan-rekan ingin menanggapi maka saya persilahkan. Terima kasih
Komentar

Tampilkan

  • Berdasarkan kasus di atas, analisalah apa yang dimaksud dengan asas precutionary principle (asas kehati-hatian)! dan jelaskan contoh kasus / penerapannya di Indonesia selain pada contoh kasus di atas!
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x