AESENNEWS.COM - Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa perempuan, anak perempuan, penyandang disabilitas, lansia, dan populasi berisiko lainnya sering kali kurang memiliki akses terhadap informasi, termasuk informasi penting terkait pencegahan penularan COVID-19, layanan dan bantuan yang tersedia, dll.
Mereka juga lebih mungkin menerima informasi yang tidak akurat, baik secara sengaja (status quo untuk 80 Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Pandemi mempertahankan ketidaksetaraan yang ada saat ini, struktur kekuasaan untuk menciptakan peluang eksploitasi) maupun tidak sengaja.
Pengembangan dan pengelolaan strategi komunikasi dan pelibatan masyarakat harus melibatkan partisipasi perempuan dan anak perempuan. Semua pesan dan informasi tentang pandemi harus tepat, mudah dimengerti, dan disampaikan melalui mekanisme yang tepat dan efektif sesuai konteks wilayah dan komunitas setempat, seperti melalui kelompok informal perempuan, remaja, penyandang disabilitas, dll.
Perempuan dan kelompok rentan lainnya yang terlibat dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pencegahan pandemi kemudian mengatasi secara proaktif potensi stigma yang dapat muncul terkait penyakit atau informasi yang keliru dengan memobilisasi dan memberdayakan kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, termasuk melalui saluran komunikasi formal dan informal.
Kesetaraan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sering menjadi pusat perhatian dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya. Akan tetapi dalam kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan perempuan belum direspons secara serius oleh negara. Isu kekerasan sistematis berbasis gender, hak-hak politik dan hak atas pekerjaan bagi perempuan kerap dilanggar. Banyak hak-hak perempuan atas pekerjaan yang masih banyak menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsisten maupun persepsi yang berbeda mengenai peran perempuan di sektor publik.
Hak-hak perempuan juga disebutkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 49 ayat (2):
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
Berkenaan dengan jaminan perempuan telah ada beberapa aturan yang dibuat atau diratifikasi pemerintah Indonesia yang khusus mengatur tentang perempuan. Namun perlu dipahami aturan-aturan tersebut diratifikasi/diundangkan dilatarbelakangi oleh fakta perlakuan yang sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan pada masa lalu, di mana kaum perempuan tidak diperkenankan untuk mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Selain itu, pada masa lalu perempuan dianggap sebagai makhluk yang sangat rendah sehingga kaum laki-laki dapat bertindak sewenang-wenang terhadap mereka.
Sampai saat ini hukum masih dianggap diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Padahal hukum seharusnya berkeadilan atau sensitif gender untuk menjamin terpenuhinya hak asasi perempuan. Dengan mengikuti prinsip persamaan hak dalam segala bidang, maka baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak atau kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga apabila terjadi diskriminasi terhadap perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Pelanggaran hak asasi perempuan terjadi karena banyak hal, diantaranya adalah akibat sistem hukum, dimana perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Orde Reformasi merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Berbagai peraturan perundangan-undangan keluar pada periode tersebut, termasuk peraturan perundangan-undangan tentang hak perempuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Antara tahun 1998-2008 banyak keluar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dapat dikatakan sepuluh tahun ini merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Tidak ketinggalan juga di dalamnya adalah pengaturan perlindungan hak asasi perempuan. Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang keluar pada tahun tersebut masalah hak perempuan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terlihat dari adanya upaya pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan gender, masih terdapat peraturan perundang- undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Hak wanita diatur tersendiri dalam UU No 39 Tahun 1999, Pada Bagian Kesembilan dari pasal 45 hingga pasal 51; mengenai Hak Wanita, Pasal 45 berbunyi:
“Hak-hak perempuan dalam UU ini adalah hak asasi manusia”
Selain dalam UU HAM, pengaturan terhadap perlindungan hak perempuan yang lebih rinci tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan yang baru- baru ini terbit adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dan lain sebagainya.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan. dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan artikel tersebut, menurut saya dalam mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas hak-hak dalam ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, peran serta dalam memberantas Covid-19, dan hak untuk menghidupkan kegiatan perekonomian, sudah dijamin dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Undang-undang ini jelas diatur tentang hak asasi bagi wanita dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51.
Dalam Pasal 50 UU No 39 Tahun 1999 tertuang bahwa Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Dalam Pasal 50 UU No 39 Tahun 1999 tertuang bahwa Pasal 46 Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender.