AESENNEWS,COM - Berkaitan dengan penegakan aturan terkait dengan undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup penting adanya suatu bentuk sanksi atau hukuman yang bisa dijatuhkan sebagai bentuk ketegasan dan perlindungan hukum. Dimana unsur sanksi ini diterapkan dengan berlandaskan pada asas dan hukum yang berlaku, sehingga sanksi yang diberikan bukan hanya sebagai konsekuensi dari melanggar atura tetapi sebagai evaluasi dan efek jera bagi pelanggar peraturan. Dalam undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dicantumkan terkait dengan sanksi yang bisa dijatuhkan atau di berikan jika dalam hal ini pihak tersebut melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam ketentuan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup menetapkan terkait dengan jenis sanksi yang bisa dijatuhkan dan diterapkan bilamana adanya pelanggaran yang dilakukan dengan sanksi diantaranya :
A. Sanksi administratif (Pasal 76), bisa berupa Teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan dan sampai dengan pencabutan izin lingkungan.
B. Sanksi hukum Perdata (Pasal 84), yang merupakan jenis sanksi atau penyelesaian sengketa dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh adanya pencemaran, kerusakan lingkungan dan lainnya.
C. Sanksi atau hukum Pidana (Pasal 97), dimana sanksi yang dijatuhkan dalam hukum pidana bisa berupa denda dan kurungan penjara sebagai bentuk tindakan tegas dan efek jera bagi pelanggar yang merugikan lingkungan hidup.
Sanksi dan aturan hukum tersebut secara hukum sah dan bisa dijatuhkan terhadap pelanggar aturan sesuai dengan ringan dan atau beratnya jenis pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini hukum pidana bisa diterapkan jika penerapan sanksi administratif dan hukum perdata tidak bisa dilakukan dan atau jenis pelanggaran yang sangat serius dan meruigikan banyak pihak baik manusia dan lingkungan hidup sehingga tindakan hukuman pidana diperlukan. Berkaitan dengan hukum pidana dalam undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup diharapkan bisa menajdi efek jera dan sebagai upaya dalam menanggulangi dampak dari kerusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas atau kegiatan yang dilakukan.
Kemudian berkaitan dengan pertanyaan Apakah kasus di atas menerapkan hukum pidana sebagai ultimum remidium ataukah sebagai premium remidium dalam penegakan hukum lingkungan?
Sebelum menjawab persoalan tersebut perlu adanya pemahaman terlebih dahulu mengenai asas ultimum remidium dan premium remidium dalam hukum pidana.
A. Ultimum Remedium
Merupakan suatu asas dalam hukum pidana di indonesia, yang mana menyatakan bahwa hukum pidana harus dijadikan sebagai suatu upaya terakhir dalam hal penegakan hukum yang mana menganggap masih adanya tindakan alternatif lainnya dalam upaya penyelesaian selain dengan menggunakan hukum atau sanksi pidana. Yang mana secara sederhana jenis asas Ultimum Remedium dalam hukum pidana yang mana sanksi yang dijatuhkan harus diposisikan sebagai langkah terakhir bilamana sanksi administratif dan perdata tidak bisa menyelesaikan.
B. Primum Remedium
Kemudian terkait dengan asas Primum Remedium sendiri bisa dikatakan sebagai upaya satu-satunya yang bisa diterapkan atau dijatuhkan yaitu hukum pidana dan tidak ada alternatif hukum lainnya untuk menindak pelanggaran yang dilakukan. Namun penegakan asas ini juga dilandaskan pada jenis dan bentuk pelanggaran yang dilakukan dan tergolong berat dan serius dan segera sehingga hukum pidana menjadi jalan satu-satunya untuk menindaknya.
Kemudian mengacu pada kasus diatas apakah menerapkan hukum pidana sebagai ultimum remidium ataukah sebagai premium remidium dalam penegakan hukum lingkungan?
Jika melihat pada kasus diatas saya bisa berpendapat bahwa penerapan hukum pidana mengacu atau belandaskan pada asas Primum Remedium dimana hukum pidana dijatuhkan atau diterapkan sebagai satu-satunya sanksi atau hukum yang bisa diterapkan dan tidak ada alternatif hukum lainnya.
Berkaitan dengan kasus diatas mengapa saya berpendapat penegakan hukum pidana tersebut berlandaskan pada asas Primum Remedium dalam penegakan hukum lingkungan bisa saya jelaskan dengan menjelaskan mengenai faktor-faktor dan bentuk pelanggaran yang dilakukan serta dampak dari kasus diatas.
1. Penerapan hukum pidana sebagai Primum Remedium.
Dalam hal ini hukum pidana sebagai efek jera dan tidak adanya upaya hukum lain sebagai alternatif yang bisa diterapkan, berdasarkan Pasal 69 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Bentuk pelanggaran yang dilakukan yang bisa dijatuhkan hukuman pidana yaitu :
a. Perbuatan yang bisa mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
b. Membuang limbah, limbah b3 ke lingkungan hidup.
c. Melepaskan produk dalam bentuk rekayasa genetik ke lingkungan hidup.
Tindakan tersebut tergolong ke dalam tindakan pidana atau merupakan kejahatan yang mana mengacu pada kasus diatas dimana “Tim Penyidik Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan empat tersangka pembakaran limbah elektronik ilegal yang menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan pencemaran udara di wilayah Tangerang, Banten”.
Dimana kasus tersebut sudah jelas bahwa pelaku melakukan tindakan pidana yang merupakan kejahatan dengan membakar limbah elektronik ilegal dan mengakibatkan pencemaran udara. Yang mana termasuk ke dalam bentuk pelanggaran lingkungan hidup yang bisa dijatuhkan hukuman pidana dengan asas Primum Remedium karena termasuk pelanggaran yang bisa mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta perbuatan yang dengan sengaja membuang limbah B3 ke lingkungan hidup. Sehingga hukum pidana menjadi satu-satunya hukum yang bisa diterapkan dan tidak ada alternatif dan pertimbangan lainnya baik sanksi atau hukum perdata dan administratif.
2. Melanggar ketentuan hukum pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (Pasal 98, 103, dan 104) dan Pasal 55 KUHP
Kemudian berlandaskan pada asas Primum Remedium hukum pidana menjadi satu-satu yang bisa dijatuhkan dan tidak ada alternatif atau pertimbangan lainnya. Berkaitan dengan kasus diatas sudah jelas bahwasannya jenis pelanggaran yang dilakukan melanggar ketentuan pasal pidana dalam UUPPLH terkait dengan pencemaran, pembuangan limbah B3 yang membahayakan lingkungan dan manusia.
Dalam kasus diatas ditegaskan bahwa pelaku terbukti bersalah sudah melakukan pembakaran barang elektronik berbahaya dan ilegal sehingga mengakibatkan pencemaran udara. Sehingga mengacu pada kasus diatas sangat jelas sudah melanggar aturan terkait dengan pencemaran limbah B3, dan pencemaran lingkungan. Kasus diatas diterapkan hukum pidana sebagai Primum Remedium mengacu pada pasal yang dijatuhkan yaitu :
• Pasal 98, dimana setiap orang yang secara sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu laut, dan kriteria baku kerusakan lingkungan dijatuhkan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dengan denda paling sedikir Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga Miliar Rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah).
• Pasal 103, dimana setiap orang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dengan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga Miliar).
• Pasal 104, dimana setiap orang yang melakukandumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga Miliar).
• Pasal 55 KUHP, ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan. Dimana dalam kasus diata “Rasio menjelaskan tersangka MA, S, dan MK, adalah pemodal. Sedangkan HI berperan sebagai pembakar limbah elektronik di Desa Tegal Angus, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten”. Yang mana ada pihak yang menyuruh melakukan sebagai atasan atau pihak pemodal berdasrkan pada kasus diatas.
Sehingga jelas mengacu pada kasus diatas sangat jelas sudah melanggar aturan terkait dengan pencemaran limbah B3, dan pencemaran lingkungan. Kasus diatas diterapkan hukum pidana sebagai Primum Remedium. Karena tidak ada hukum lain yang bisa dijatuhkan dan tidak ada pertimbangan atau alternatif hukum lain selain hukum pidana sebagai upaya efek jera dan derita sejak awal dari tindakan pelanggaran yang dilakukan.
Kesimpulan
Dalam hal penegakan hukum Pidana dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sangat penting dimana bisa dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah seperti hukumadministrasi dan perdata tidak bisa menyelesaikan dan langkah akhir yang bisa dilakukan dengan hukum pidana. Namun dalam penegakan hukum perlindungan lingkungan hukum pidana juga bisa diterapkan sebagai langkah awal dalam memberikan efek jera dan derita dan tidak ada pertimbangan atau alternatif hukum lain yang bisa diterapkan berdasarkan pada tingkat kerusakan, dan dampak yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan.
Sehingga jika melihat kasus diatas dimana “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan empat tersangka pembakaran limbah elektronik ilegal yang menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan pencemaran udara di wilayah Tangerang, Banten”. Kasus tersebut dengan jelas menempatkan hukum pidana sebagai Primum Remedium atau sebagai efek derita sejak awal, dan satu-satunya hukum yang bisa dijatuhkan serta tidak ada lagi pertimbangan dan alternatif hukum lain yang bisa diberlakukan. Karena jenis pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan tergolong serisu dan berat mengancam manusia dan lingkungan.
Sumber Referensi
HKUM4210/MODUL 4. Kegiatan Belajar 1. Pendekatan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Indonesiare.co.id. 17 September 2019. Ultimum Remedium Dan Primum Remedium Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Diakses Pada 31 Oktober 2023. https://indonesiare.co.id/id/ article/ultimum-remedium-dan- primum-remedium-dalam-sistem- hukum-pidana-indonesia
Yuridis.id. 8 Mei 2021. Pasal 55 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Diakses Pada 31 Oktober 2023. https://yuridis.id/pasal-55- kuhp-kitab-undang-undang- hukum-pidana/