“Thrifting ini branded dan harganya lebih murah, sementara harganya bersaing dengan produk lokal jadi orang pasti larinya ke branded walaupun second,” kata Laila.
Ia berpendapat thrifting ini membawa banyak dampak negatif di dalam negeri. Selain merugikan pelaku UMKM yang membuat produk lokal, keberadaan produk tekstil bekas impor itu juga membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Namun bisnis baju bekas impor ini masih saja marak. Salah satu alasan masih maraknya baju thrift adalah karena banyaknya tipikal masyarakat konsumtif di Kota Samarinda, sehingga penjualan pakaian thrift pun tak akan mati meski yang dijual adalah barang bekas.
“Samarinda ini kota yang berkembang dan segala sesuatu yang masuk cepat sekali berputar, sebab masyarakatnya konsumtif,” tuturnya.
Bisnis pakaian bekas impor ini memang dilema. Di satu sisi, penjualnya merusak pasar industri merek lokal.
Di sisi lain, pelaku usaha baju bekas impor ini pun bisa dikatakan sebagai UMKM karena bersentuhan langsung dengan pembeli.
“Kalau kita tutup itu akan mematikan usaha orang yang sudah berjalan, ini dilematik. Tetapi bagaimana yang sudah ada jangan berkembang lagi,” tutupnya.
(OPEANUS) SAMARINDA