-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas dan apa istilah konflik tersebut dan siapa tokoh yang mengemukakan istilah dimaksud!

AESENNEWS.COM
Thursday, June 1, 2023, 6:32:00 PM WIB Last Updated 2023-06-01T11:32:19Z

AESENNEWS.COM - Salah satu ahli teori yang mencoba untuk menunjukkan bagaimana fungsionalisme struktural dan teori konflik bisa dikombinasikan adalah Lewis Coser. Coser berpendapat bahwa di bawah "kondisi tertentu" di dalam konflik dapat berfungsi bagi suatu masyarakat. Untuk menggambarkan kondisi tertentu itu Coser mengatakan bahwa konflik di dalam kelompok kecil dapat dianggap sangat jelek tetapi di dalam konsep masyarakat secara keseluruhan konflik itu dapat menciptakan stabilitas dan keseimbangan.

Teori konflik didasarkan pada gagasan di mana pertikaian untuk (memperebutkan) kekuasaan dan otoritas merupakan konsep dasar (adanya) masyarakat. Teori itu juga menunjukkan bahwa individu atau kelompok dapat memihak pada dua isu berbeda dengan dua kelompok lain yang tidak sepaham satu sama lain pada suatu isu yang tidak berhubungan dengan kelompok yang pertama atau tidak berhubungan dengan individu. Dengan cara ini tidak ada kelompok atau seseorang yang dikeluarkan dari masyarakatnya disebabkan orang atau kelompok tersebut tidak sepaham dengan suatu isu yang diminati atau menjadi orientasi seseorang atau kelompok lain. Coser dan berargumentasi bahwa konflik akan bersifat fungsional bagi suatu masyarakat sebab konflik itu sendiri mengijinkan individu dan kelompok di dalam masyarakat itu untuk membuat marah dan mempromosikan perubahan positif tanpa menghancurkan dan menaklukkan masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga, teori fungsionalisme-konflik dari Coser juga memiliki kekurangan, yaitu ia hanya memfokuskan pada unsur positif dari konflik pada suatu skala luas di mana ia tidak memberikan penjelasan yang efektif pada saat menonjolkan aspek negatif dari konflik di dalam kelompok yang lebih kecil.

B. TIGA VERSI TEORI KONFLIK BERBEDA

1. Sosiologi Marx: Paham Historis Materialisme
Konsep dasar: proposisi-proposisi

a. Unit dasar analisa sosial adalah individu di dalam hubungan sosial. Hubungan sosial adalah nyata, tetapi mereka jangan dipandang sebagai hal yang memiliki "facticity". Kelas adalah bukan suatu benda, tetapi suatu hubungan atau suatu perangkat hubungan. Status bukanlah suatu instrumen atau piranti atau benda, di mana ia juga menghadirkan suatu jaringan hubungan sosial. Status perlu juga dipandang sebagai suatu gelanggang perjuangan, suatu tempat di mana perbedaan sosial mengadakan perlombaan dan oleh karenanya kebijakan sosial dirumuskan. Orang tinggal di dalam formasi sosial (penempatan geografis dan di dalam hubungan sosial).

b. Orang membuat hubungan sosial, tetapi suatu reservasi penting harus ditambahkan. Marxis menolak bentukan-bentukan idealis bahwa kenyataan sosial tak lain hanya inter-subjective, Sebagai gantinya, mereka membantah hubungan sosial itu adalah produk aktivitas manusia, tetapi manusia itu dibatasi geraknya. Sekali diciptakan, hubungan sosial menjadi suatu kenyataan terpisah dari aktivitas individu biasa. "Orang membuat sejarah." menurut Marx, "tetapi mereka tidak membuat nya di bawah kondisi-kondisi di mana mereka bisa membuat pilihan sendiri." Orang dipandang sebagai suatu hal yang cuma-cuma, aktif dan kreatif, tetapi kebebasannya dibatasi, kreativitasnya dipasung.

c. Tenaga kerja adalah sumber kekayaan. Kekayaan dari semua masyarakat dimulai dari tenaga kerja produktif. Para pekerja, di mana sebagian mereka adalah para budak, karyawan, atau petani penyewa, adalah produsen kekayaan langsung. Suatu tugas penting untuk sarjana pengetahuan masyarakat adalah membongkar rahasia yang tersembunyi yang mengijinkan anggota dari suatu kelas sosial kecil untuk mengambil alih kekayaan yang diciptakan oleh suatu kelas produsen yang lebih besar. Dengan kata lain, pemikiran ini bisa menjadi suatu praktek ideologis-ekonomis yang melawan ideologis-politis yang berperan untuk penghisapan tenaga kerja atau eksploitasi.

d. Hubungan kelas ditandai oleh oposisi dan kombinasi, yang diletakkan dengan cara yang berbeda. Kelas ditandai oleh penghisapan dan ketergantungan, Para pekerja adalah pihak yang tergantung pada kapitalis untuk alat-alat penghidupan mereka dan kapitalis adalah tergantung pada para pekerja untuk surplus mereka pada waktu pekerja bekerja keras. Hubungan penghisapan dan dominasi secara sosial dibangun dan dinyatakan melalui ideologi-politis dan praktik ekonomi.
e. Terkait dengan hal tersebut di atas, Marx berupaya untuk membongkar prinsip sistem atau logika dasar (struktur] itu agar dapat memberi bentuk baru ke arah hubungan sosial dan perubahan sosial. Marx, sebagai contoh, mengidentifikasi apa yang ia lihat sebagai pola kecenderungan tentang akumulasi kapitalis, yakni:
1) Dengan pengembangan kapitalisme di masa yang akan datang maka akan terjadi peningkatan yang lebih besar dari pemusatan dan konsentrasi ekonomi. Di dalam perjuangan mereka untuk meningkatkan posisi mereka di dalam pasar yang kompetitif, kapitalis menghancurkan seluruh dasar yang menyangkut pasar itu. Kapitalisme kompetitif digantikan oleh kapitalisme monopoli. Pada gilirannya, pemusatan dan konsentrasi modal datang untuk menghancurkan sama sekali konsep "pasar" yang selama ini ada.
2) Dalam rangka survive, kapitalisme harus tumbuh ke dalam area investasi yang baru dan ke dalam wilayah baru (memperdalam & memperluas).

2. Lewis Coser: Fungsionalisme Konflik
Tujuan dari Teori Konflik dari Coser adalah memperjelas dan memperkuat suatu kerangka konseptual di mana akan bermanfaat untuk pemahaman konflik sosial. Ia mencoba untuk menunjukkan perspektif fungsionalisme itu mampu menangani pertanyaan konflik dan perubahan tanpa revisi besar-besaran. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa dalam konflik sosial ternyata ada fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Coser sebenarnya memandang konflik sebagai suatu bagian integral dari proses sosial yang normal, bukan semata-mata sebagai masalah atau penyakit sosial. Oleh karena penekanannya pada atribut konflik dan konflik yang fungsional sebagai faktor yang mendorong ke arah tingkatan sosial yang lebih besar integasinya, maka pemikiran Coser sering disebut sebagai pemikiran tentang fungsionalisme konflik.
Konflik, bagi Coser, melibatkan "perjuangan orang-orang di atas nilai- nilai dan perebutan tentang status dan sumber daya yang langka serta kekuasaan, di mana setiap lawan akan berusaha untuk memandulkan, menghapuskan atau melukai dan merugikan saingan mereka". Apakah yang menjadi tujuan para aktor di dalam suatu "conflictual situation" (situasi konfliktual) adalah benar-benar untuk melukai atau merugikan saingan mereka? Apakah pemberi kerja selalu berniat untuk melukai atau membinasakan para pekerja mereka? Ini semua adalah suatu pertanyaan yang bermanfaat bagi penyusunan konsep tentang konflik sosial. Coser kemudian mencoba untuk memberikan beberapa asumsi tentang fungsionalisme konflik, yakni:
a. Konflik dapat meningkatkan penyesuaian sosial, pengintegrasian, dan adaptasi
b. Intensitas konflik sosial dihubungkan dengan a) keberadaan institusi katup-aman, b) Toleransi dari pihak yang berlawanan,
c. Tingkat mobilitas sosial dan
d. kesetiakawanan dari kelompok yang berlawanan.
Coser mengemukakan apa yang merupakan polemik mendasar dalam fungsionalisme, yakni bahwa konflik dalam fungsionalisme tidak mendapat perhatian yang memadai dan bahwa gejala yang terkait seperti penyimpangan dan perbedaan pendapat secara sederhana dipandang sebagai patologis bagi terciptanya ekuilibrium dalam suatu sistem sosial. Namun demikian, walaupun Coser secara konsisten mengemukakan bahwa teori fungsional seringkali menolak dimensi kekuasaan dan kepentingan, dia juga tidak begitu saja mengikuti pendapat Marx maupun Dahrendorf yang menekankan bahwa kekeuasaan dan kepentingan selal membawa konsekuensi yang mengganggu seperti konflik kekerasan. Bahkan Coser juga mengkoreksi Dahrendorf dengan menekankan fungsi-fungsi integratif dan adaptabilitas dari konflik bagi sistem sosial. Dengan demikian, Coser menegaskan teorinya dengan mengkritisi fungsionalisme yang menolak konflik dan mengkritisi teori konflik yang menekankan ketidak berfungsiannya suatu konflik bagi sistem sosial.
Dengan demikian, analisis Coser dapat dilihat sebagai proses seperti berikut :
a. ketidakseimbangan dari integrasi bagian sistem, menyebabkan;
b. pecahnya konflik-konflik yang bervariasi di antara bagian-bagian, yang pada gilirannya menyebabkan;
c. reintegrasi temporer dari sistem, yang kemudian menyebabkan;
d. meningkatkan fleksibilitas struktur dalam sistem, meningkatkan kapabilitas dalam memecahkan masalah-masalah ketidakseimbangan akibat konflik pada masa yang akan datang, meningkatkan kapabilitas beradaptasi dengan kondisi-kondisi yang berubah.

Penyebab Konflik
Coser menekankan bahwa keteraturan sosial dilestarikan oleh tingkat konsensus tertentu melalui susunan sosiokultural yang terwujud dan bahwa ketidaktertiban melalui konflik terjadi hanya apabila kondisi-kondisi tertentu menurunkan tingkat konsensus tersebut.
Apabila harapan-harapan anggota kelompok untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa depan mulai dirasakan melebihi kesempatan untuk mencapainya maka dapat mendorong mereka untuk memulai konflik. Tingkat dari perkembangan konflik tersebut pada gilirannya akan dipengaruhi oleh komitmen mereka kepada sistem yang ada. dipengaruhi pula oleh seberapa jauh mereka ditempa oleh pertahanan diri internal serta oleh sifat dan jumlah kontrol sosial di dalam sistem sosial yang bersangkutan.

Kekerasan dari Konflik
Seperti kebanyakan pakar fungsionalisme maka Coser juga menekankan dan mengutamakan kondisi-kondisi di mana konflik akan menjadi tidak keras. Berlawanan dengan Teori Dialektika Dahrendorf atau Marx, yang lebih menekankan kondisi-kondisi di mana konflik akan menjadi begitu keras. Dalam membahas tentang kerasnya konflik Coser memulainya dengan membedakan dua macam konflik yaitu Konflik Realistis dan Konflik Non Realistis.
Konflik realistis adalah konflik yang terjadi karena berbagai isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai, yang cenderung melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Oleh karenanya, kekerasan konflik akan semakin berkurang
Konflik non realistis adalah konflik yang terjadi karena adanya isu yang tidak realistik Semakin besar tingkat emosional seseorang atau sekelompok orang, maka konflik tersebut akan semakin keras. Selain itu, manakala konflik ini terjadi karena nilai-nilai pokok yang sangat mendasar, semakin cenderung konflik ini mengarah pada isu-isu yang non realistik. Meningkatnya berbagai isu yang non-realistik ini sebenarnya merupakan dampak dari semakin lama berlangsungnya konflik yang realistik.

3. Konflik Ralf Dahrendorf di dalam Masyarakat Industri
Tujuan teori Konflik dari Dahrendorf adalah mengembangkan pemahaman pendekatan konflik kepada masyarakat dan ia berangkat dari gagasan Karl Marx. Dahrendorf juga memulai teorinya dengan suatu penolakan terhadap fungsionalisme, la mengatakan bahwa fungsionalisme itu adalah sekedar kayalan dan bahwa teori coercion atau teori konflik itu dapat menjelaskan lebih baik mengenai apapun juga dibanding dengan fungsionalisme atau teori ketertiban (order).
Dahrendorf mengenali dua pendekatan dalam masyarakat yang disebutnya sebagai masyarakat utopia dan masyarakat rasionalis. Masyarakat utopia menekankan keseimbangan dari nilai-nilai, konsensus, dan stabilitas. Masyarakat rasionalis berputar-balik di sekitar konflik dan perselisihan, dan akhirnya menjadi penggerak bagi perubahan struktural. Kedua-duanya merupakan perspektif sosial. Ini tidak sepenuhnya sepenuhnya salah, tetapi keduanya seolah-olah menggambarkan masyarakat yang memiliki dua wajah yang berbeda. Sayangnya, ia merasa, pandangan konsensus telah mendominasi sosiologi kontemporer, terutama di dalam Amerika Serikat. Ia mengedepankan hal itu untuk menciptakan beberapa keseimbangan antara kedua pandangan dengan mengembangkan dan menggambarkan kekuatan teoritis dari suatu perspektif konflik kelas. la memulai karyanya pada saat ia harus melakukan suatu tinjauan ulang tentang tulisan Marx, suatu klarifikasi tentang model Marx, suatu diskusi tentang perubahan sosio-politik sejak Marx menulis karyanya. Tinjauan ulang tentang pekerjaan teoretis tersebut yang berhubungan dengan kelas diikuti oleh suatu kritik sosiologis terhadap ajaran Marx. Suatu pekerjaan ilmiah sehari-hari yang penting telah diselesaikan oleh Dahrendorf, dengan menghadiahi pandangannya tentang kelas.
Dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas yang terjadi di dalam masyarakat industri, Dahrendorf (1976) menolak beberapa pandangan Marx. Berbeda dengan pandangan Marx, ia mengamati bahwa, perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi dapat juga dari luar masyarakat. Menurutnya, perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tidak selalu disebabkan oleh adanya konflik sosial, karena di samping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain. Ia pun mengamati bahwa konflik itu tidak selalu berujung revolusi, karena perubahan sosial dapat terjadi tanpa revolusi. Selanjutnya, Dahrendorf melihat pula bahwa kelas- kelas sosial tidak selalu terlibat dalam konflik. Akhirnya, Dahrendorf mencatat bahwa kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan di bidang industri.
Dahrendorf melihat bahwa struktur masyarakat industri telah mengalami perubahan besar semenjak zamannya Marx. Oleh sebab itu, Dahrendorf menolak sebagian dari teori Marx, seperti misalnya teori mengenai perubahan sosial dan konflik kelas, konflik kelas dan revolusi, atau hak milik dan kelas sosial. Dahrendorf kemudian merumuskan Teori Konflik sendiri banyak hal berbeda dengan Teori Marx.
Menurut teori konflik versi Dahrendorf, masyarakat terdiri atas berbagai organisasi yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak atas pihak lain atas dasar paksaan) atau wewenang (dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi), dan ini dinamakan "imperatively coordinated associations" (asosiasi yang dikoordinasi secara paksa). Karena kepentingan kedua pihak dalam asosiasi
asosiasi tersebut berbeda, di mana pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan, maka di dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antara kedua kelompok tersebut. Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebut kekuasaan dari kelompok penguasa di dalam asosiasi akan menciptakan perubahan sosial. Dengan demikian, konflik, menurut Dahrendorf, merupakan sumber terjadinya perubahan sosial (lihat Dahrendorf, 1976). Masyarakat mewariskan kekuasaan pemilik dalam posisi sosial untuk melakukan pengawasan yang memaksa atas orang lain (Rummel, 1976). Dan hak milik kepemilikan, suatu hak memaksa orang lain untuk ke luar dari hak milik seseorang secara sah, adalah kekuasaan seperti itu. Pengawasan di sini adalah suatu otoritas, Dahrendorf menggambarkan, dengan mengikuti alur berpikir Max Weber, bahwa pengawasan adalah seperti probabilitas yang merupakan suatu perintah dengan isi spesifik yang akan dipatuhi oleh orang tertentu (Rummel, 1976). Otoritas di sini dihubungkan dengan suatu peran atau posisi dan berbeda dengan kekuasaan, Dahrendorf mengklaimnya sebagai hal yang bersifat individual. Otoritas adalah sesuatu hak kekuasaan formal yang didukung oleh sanksi. Hal ini merupakan suatu hubungan yang ada di antara orang-orang di dalam kelompok yang dikoordinir secara paksa, begitulah permulaan di dalam struktur sosial.
Otoritas, bagaimanapun juga, selalu bersifat dikotomis; di mana selalu ada suatu hierarki wewenang pada satu sisi dan mereka yang dikeluarkan pada sisi lainnya. Di dalam kelompok manapun yang memaksa selalu ada kelompok yang lebih tinggi (atau penguasa) dan ada bawahan (yang dikuasai). Di sini, ada suatu pengaturan peranan sosial yang berisikan harapan penaklukan atau dominasi.
Mereka yang mengasumsikan bahwa peran berlawanan itu sudah ada bila dilihat dari sudut strukturnya, menghasilkan minat atau kepentingan yang juga berlawanan. Asumsi ini sebenarnya berfungsi untuk memelihara atau untuk melindungi "status quo" pada saat tertentu. Pejabat dari suatu peran yang berwenang (penguasa), bermanfaat bagi terpeliharanya "status quo", di mana status quo ini melanggengkan mereka atas kekuasaannya. Kepada merekalah kekuasaan yang berwenang ini dilaksanakan, siapa yang menderita atas kuasa tersebut, bagaimanapun, secara alami dipertentangkan.
Superordinat dan subordinat kemudian membentuk kelompok kuasi (quasi-groups) yang terpisah bagi kepentingan-kepentingan tersembunyi (latent interest) bersama (Breen dan Rottman, 1995.). Di atas permukaan, perilaku dari anggota kelompok ini sangat beragam, tetapi mereka membentuk suatu kelompok tersendiri dari kelompok konflik yang dapat merekrut anggota. Dengan kepemimpinan, ideologi, dan kondisi politis (kebebasan) dan sosial dari organisasi yang ada, kepentingan tersembunyi (laten) tadi dapat diwujudkan melalui organisasi politis dan melalui konflik.
Bagaimana cara Dahrendorf menggambarkan kelas sosial? Baginya, kelas sosial itu adalah kelompok konflik yang tersembunyi atau menjelma dari penguasa struktur kewenangan dalam sebuah organisasi yang koordinasinya dilakukan secara paksa. Konflik kelas kemudian berkembang dari dan dihubungkan dengan struktur tersebut (Breen dan Rottman, 1995). Sumber-sumber struktural dari kelompok konflik berada di dalam dominasi dan penaklukan serta di dalam dominasi kewenangan.
Objek konflik seperti itu adalah "status quo" dan konsekuensinya adalah perubahan struktur sosial, yang tidak harus melalui revolusi.
Perlu ditekankan bahwa teori Dahrendorf itu tidak terbatas pada masyarakat kapitalis. Karena peran kewenangan adalah berbeda di antara kelas. Kelas dan konflik kelas juga ada di dalam masyarakat komunis atau masyarakat sosialis. Kelas selalu ada sepanjang terdapat orang-orang yang mendominasi berdasarkan pada posisi sah (seperti manajer pabrik, kepala komune, atau kepala angkatan perang/bersenjata) dan mereka yang terbiasa di dalam posisi bawahan (warga negara, pekerja, petani, dan sebagainya). yang terbiasa di dalam posisi bawahan.

Kesimpulan :
Berdasarkan uraian diatas menurut analisa saya contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas salah satunya adalah konflik tawuran antar pelajar/sekolah dimana mereka sering melakukan aksi tesebut ditempat umum atau terbuka yang jelas mengganggu keteriban masyarakat sosial, belum lagi maksud dan tujuan dari pada aksi tawuran tersebut sangat tidak jelas.

Berdasarkan uraian diatas istilah konflik tersebut Coser menekankan bahwa keteraturan sosial dilestarikan oleh tingkat konsensus tertentu melalui susunan sosiokultural yang terwujud dan bahwa ketidaktertiban melalui konflik terjadi hanya apabila kondisi-kondisi tertentu menurunkan tingkat konsensus tersebut.
Apabila harapan-harapan anggota kelompok untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa depan mulai dirasakan melebihi kesempatan untuk mencapainya maka dapat mendorong mereka untuk memulai konflik. Tingkat dari perkembangan konflik tersebut pada gilirannya akan dipengaruhi oleh komitmen mereka kepada sistem yang ada. dipengaruhi pula oleh seberapa jauh mereka ditempa oleh pertahanan diri internal serta oleh sifat dan jumlah kontrol sosial di dalam sistem sosial yang bersangkutan.
Konflik non realistis adalah konflik yang terjadi karena adanya isu yang tidak realistik Semakin besar tingkat emosional seseorang atau sekelompok orang, maka konflik tersebut akan semakin keras. Selain itu, manakala konflik ini terjadi karena nilai-nilai pokok yang sangat mendasar, semakin cenderung konflik ini mengarah pada isu-isu yang non realistik. Meningkatnya berbagai isu yang non-realistik ini sebenarnya merupakan dampak dari semakin lama berlangsungnya konflik yang realistik.

Dan siapa tokoh yang mengemukakan istilah dimaksud, yaitu Lewis Coser dengan teorinya yaitu Fungsionalisme Konflik.


Komentar

Tampilkan

  • contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas dan apa istilah konflik tersebut dan siapa tokoh yang mengemukakan istilah dimaksud!
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x