-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

Apa pendapat Anda tentang hal ini? Dan apa saran yang bisa Anda berikan agar pelaksanaan otonomi daerah justru bisa mengurangi terjadinya perilaku korupsi?

AESENNEWS.COM
Friday, June 2, 2023, 11:20:00 AM WIB Last Updated 2023-06-02T04:20:14Z

AESENNEWS.COM - maraknya perilaku korupsi dalam konteks otonomi daerah adalah masalah serius yang harus diatasi. Korupsi tidak hanya merugikan negara dan masyarakat, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam tata kelola pemerintahan dan merusak prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).

Ada beberapa teori dan pendapat dari para ahli yang menjelaskan mengapa korupsi sering terjadi dalam konteks otonomi daerah. Beberapa di antaranya termasuk:
Teori Akumulasi: Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika aktor-aktor di dalam pemerintahan dan birokrasi menggunakan posisi dan kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Dalam konteks otonomi daerah, para pejabat dapat memanfaatkan dana publik untuk kepentingan pribadi mereka. Sofyan Wanandi: Sofyan Wanandi, seorang pengusaha dan tokoh pergerakan reformasi di Indonesia, mengemukakan bahwa korupsi terjadi karena adanya celah dalam sistem regulasi dan kurangnya pengawasan. Menurutnya, teori akumulasi korupsi dapat diatasi dengan meningkatkan transparansi, pemberantasan kolusi, dan menguatkan sistem pengawasan.
Todung Mulya Lubis: Todung Mulya Lubis, seorang pengacara terkenal dan aktivis anti-korupsi, mengemukakan bahwa korupsi terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab. Menurutnya, untuk mengatasi korupsi, diperlukan penegakan hukum yang kuat, penguatan sistem pengawasan, dan pemberantasan korupsi dimulai dari pembenahan moral dan pendidikan.
Laode M. Syarif: Laode M. Syarif, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, menekankan pentingnya pencegahan korupsi melalui penguatan tata kelola pemerintahan dan sistem pengawasan yang efektif. Menurutnya, teori akumulasi korupsi dapat dikurangi dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi publik, dan pemberantasan korupsi secara sistemik.

Teori Peluang: Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika ada peluang dan insentif yang tinggi untuk melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks otonomi daerah, adanya dana publik yang lebih besar yang dikelola oleh pemerintah daerah dapat menciptakan peluang korupsi yang lebih besar.
Menurut Prof. Sofyan Sjafri Siregar, korupsi di Indonesia terkait erat dengan faktor peluang. Dia berpendapat bahwa korupsi terjadi karena adanya peluang yang tinggi untuk melakukan tindakan korupsi. Beberapa faktor peluang korupsi yang dia tekankan adalah:
Keterbatasan Pengawasan: Salah satu faktor utama yang mempengaruhi peluang korupsi di Indonesia adalah keterbatasan pengawasan yang efektif. Prof. Siregar menyoroti bahwa pengawasan terhadap kegiatan pemerintah daerah masih lemah, sehingga memberikan kesempatan bagi korupsi untuk terjadi.
Sistem Perizinan yang Rumit: Prof. Siregar juga menekankan bahwa sistem perizinan yang rumit dan berbelit-belit dapat menciptakan peluang korupsi. Proses yang kompleks ini seringkali memunculkan praktik pungutan liar (pungli) atau penyuapan agar perizinan dapat diperoleh dengan lebih mudah.
Rendahnya Transparansi: Kurangnya transparansi dalam penggunaan dana publik juga menjadi faktor peluang korupsi. Prof. Siregar menyoroti pentingnya keterbukaan informasi dalam mengawasi penggunaan anggaran publik, termasuk di tingkat pemerintah daerah.

Pendapat Prof. Sofyan Sjafri Siregar mencerminkan kesadaran akan pentingnya memperbaiki faktor peluang dalam mencegah korupsi di Indonesia. Melalui langkah-langkah konkret seperti peningkatan pengawasan, transparansi, dan penegakan hukum yang kuat, diharapkan peluang korupsi dapat diminimalisir dan tata kelola pemerintahan yang baik dapat terwujud.
Teori Kelemahan Institusi: Menurut teori ini, korupsi sering terjadi karena kelemahan dalam institusi pemerintahan dan sistem pengawasan. Kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi dapat memungkinkan perilaku korupsi terus terjadi.
Susan Rose-Ackerman, juga menggagas teori kelemahan institusi dalam konteks korupsi. Dia berargumen bahwa kurangnya transparansi, prosedur yang rumit, dan sistem hukum yang lemah dapat menciptakan kesempatan bagi praktik korupsi untuk berkembang.
Pendapat dari para ahli teori kelemahan institusi ini menekankan pentingnya memperkuat institusi pemerintahan dan sistem pengawasan untuk mengatasi masalah korupsi. Reformasi institusi yang meliputi peningkatan transparansi, penegakan hukum yang tegas, dan peningkatan akuntabilitas dapat membantu mencegah dan mengurangi korupsi dalam konteks otonomi daerah dan pemerintahan secara umum.

Para ahli Indonesia ini menyoroti pentingnya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui penguatan tata kelola pemerintahan, penegakan hukum yang kuat, transparansi, partisipasi publik, serta pendidikan dan pembenahan moral. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi kesempatan dan motivasi pelaku korupsi serta memperkuat sistem pengawasan guna mencegah akumulasi korupsi dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.
Contoh kasus korupsi dalam konteks otonomi daerah dapat ditemukan di berbagai negara. Beberapa contoh kasus yang terkenal adalah:
Kasus korupsi e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik) di Indonesia: Kasus ini melibatkan para pejabat pemerintah yang diduga menerima suap terkait proyek penerbitan e-KTP. Kasus ini merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Kasus Korupsi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Indonesia: Pada tahun 2019, beberapa jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur diduga terlibat dalam korupsi terkait penanganan perkara. Mereka dituduh menerima suap untuk mempengaruhi keputusan hukum. Kasus ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal dan rendahnya akuntabilitas dalam lembaga penegak hukum.
Kasus Korupsi FIFA: FIFA (Federation Internationale de Football Association), badan pengatur sepak bola internasional, menghadapi berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan eksekutif tingkat tinggi. Kasus ini menyoroti kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam organisasi tersebut, memungkinkan praktik korupsi berkembang.
kasus korupsi yang melibatkan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari. Kasus ini terjadi pada tahun 2012 dan melibatkan penyalahgunaan wewenang dan korupsi terkait proyek-proyek infrastruktur di daerah tersebut.
Rita Widyasari, sebagai Bupati Kutai Kartanegara, diduga menerima suap dari berbagai perusahaan konstruksi dalam bentuk uang dan hadiah lainnya. Uang suap tersebut diduga diperoleh dengan cara memanfaatkan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh anggaran daerah.
Rita Widyasari diduga menggunakan posisinya untuk memanipulasi proses lelang proyek-proyek tersebut. Ia diduga meminta fee atau komisi dari perusahaan konstruksi sebagai imbalan atas pemilihan mereka sebagai pemenang lelang. Dalam beberapa kasus, ia juga diduga menerima hadiah-hadiah mewah seperti mobil mewah dan perhiasan.
Kasus korupsi di sektor perpajakan: Peluang korupsi juga ada dalam sektor perpajakan, seperti penyuapan atau pemerasan terhadap wajib pajak untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak. Peluang korupsi muncul karena kompleksitas aturan perpajakan dan kerentanan sistem dalam mendeteksi praktik-praktik korupsi.



kasus ini mencerminkan masalah serius korupsi dalam konteks otonomi daerah dan menekankan perlunya reformasi tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan sistem pengawasan yang lebih kuat untuk memerangi korupsi.
Referensi:
"Corruption: A Study in Political Economy" oleh Susan Rose-Ackerman: Buku ini membahas korupsi dari perspektif ekonomi politik. Penulis menyajikan berbagai teori dan strategi untuk mencegah dan mengurangi korupsi.

"Preventing Corruption: Investigation, Enforcement and Governance" oleh Tina Søreide: Buku ini menggali berbagai strategi pencegahan korupsi, termasuk investigasi, penegakan hukum, dan tata kelola yang baik. Penulis juga menyoroti peran lembaga internasional dalam pencegahan korupsi.
"Pencegahan Korupsi di Indonesia: Perspektif Kebijakan Publik" oleh Arief Hidayat dan Bambang Purnomo. Buku ini membahas berbagai aspek pencegahan korupsi di Indonesia, termasuk peran lembaga pencegah korupsi, kebijakan publik, dan upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
"Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Studi Perbandingan Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana" oleh Abdul Mukthie Fadjar. Buku ini menyajikan analisis tentang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memperhatikan aspek hukum tata negara dan hukum pidana.
"Menggagas Pencegahan Korupsi di Indonesia" oleh Tumpal Manullang. Buku ini membahas teori dan praktik pencegahan korupsi di Indonesia, termasuk peran masyarakat, media, dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam upaya memerangi korupsi.
"Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Antara Tindakan dan Retorika" oleh KPK RI (Komisi Pemberantasan Korupsi). Buku ini berisi kumpulan tulisan dan analisis dari KPK mengenai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, termasuk strategi, kendala, dan rekomendasi.
"Korupsi di Indonesia: Membedah Sistem dan Kultur Korupsi" oleh KPK RI (Komisi Pemberantasan Korupsi). Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang sistem dan kultur korupsi di Indonesia serta upaya pencegahan yang dilakukan oleh KPK.
Komentar

Tampilkan

  • Apa pendapat Anda tentang hal ini? Dan apa saran yang bisa Anda berikan agar pelaksanaan otonomi daerah justru bisa mengurangi terjadinya perilaku korupsi?
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x