AESENNEWS.COM - Putusan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019, Mahkamah Agung (MA) telah memutus perkara Baiq Nuril Maknun yang putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas permohonan Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA. Kasus Baiq Nuril berawal pada tahun 2012, di mana ia menjadi guru honorer pada SMA 7 Mataram, bermula dari percakapan telepon dengan Kepala Sekolahnya yang bercerita soal pengalaman hubungan seksual yang diduga juga mengarah pada pelecehan seksual secara verbal kepada Baiq Nuril. Karena merasa risih, Baiq Nuril kemudian merekam pembicaraan tersebut dan rekaman itu akhirnya diketahui orang lain. Kemudian Kepala Sekolah dimaksud melaporkan sebagai kasus pelanggaran terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ditolaknya
permohonan PK Baiq Nuril, berdampak bahwa putusan kasasi MA yang menghukum Baiq
Nuril dinyatakan berlaku. Sebagaimana putusan tingkat Kasasi bulan September
2018 memutus Baiq Nurul Maknun bersalah dan diganjar hukuman 6 bulan penjara
dan denda Rp. 500 juta, karena dianggap melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat (1) dan
(3) jo Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), walaupun sebelumnya Pengadilan Negeri Mataram, dalam sidang
putusan tertanggal 26 Juli 2017, menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah dan
divonis bebas.
1.
Uraikan oleh saudara berdasarkan kasus di atas, Sistem
hukum manakah yang dianut oleh Indonesia dan apakah sistem hukum tersebut masih
relevan diberlakukan di Indonesia?.
Dilansir dari
berbagai sumber media saya menemukan kasus mengenai pemberitaan tentang kasus Baiq
Nuril seorang guru honorer di SMA 7 Mataram yang menjadi tersangka atas kasus pencemaran
nama baik dan melanggar UU ITE, seharusnya itu tidaklah terjadi kepada Baiq
Nuril, hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan besar yang mungkin tidak akan
selesai jika dibahas dalam tugas ini, namun pada intinya adalah pelaksanaan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan hanya berfokus kepada UU ITE pasal 27 saja
dan tidak mengedepankan sebuah asas-asas yang ada dan Hakim harusnya dapat
mempertimbangkan berbagai aspek dan norma yang berlaku dalam menentukan suatu
putusan berdasarkan keyakinan Hakim.
Memang pada
dasarnya hukum yang digunakan diindonesia adalah sistem hukum Civil of Law atau sistem Hukum Eropa Continental dimana sistem
hukum tersebut menggunakan ketentuan-ketentuan yang sifat hukumnya tertulis sebagai
landasan terhadap pelaksanaan hukum tersebut yang mana didalamnya terdapat ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ditulis secara rinci sebab dan akibat dari
perbuatan hukum tersebut. karakteristik yang paling menonjol dari sistem hukum
civil of law adalah sistem peradilan yang dimana didalam sistem ini mempunyai
peranan yang sangat besar dalam mengarahkan serta memutuskan sebuah perkara,
dalam hal ini hakim aktif dalam menemukan sebuah fakta dan memiliki kecermatan
dan profesionalisme dalam menilai sebuah alat bukti dalam pelaksanaan hukum
tersebut. dalam sistem peradilan tugas utamanya adalah menerapkan dan
menafsirkan sebuah hukum yang terkandung didalam metode atau penerapan undang-undang
yang sesuai dengan fakta yang ada. Para
penganut sistem hukum civil of law memberikan keleluasan yang besar bagi
penegak hukum atau hakim dalam memutuskan sebuah perkara terlebih dahulu tanpa
meneladani sebuah pututsan-putusan lain. Karena hal tersebut hakim berlandaskan
kepada sebuah aturan yang dibuat oleh parlemen politik atau pemerintah yaitu
undang-undang yang mana didalamnya terkandung aturan-aturan sebab dan akibat
dari melanggar hukum.
Dengan pemaparan
diatas sistem hukum ini memiliki karakteristik diantaranya:
a. Memiliki
sistem kodifikasi.
Dengan
adanya sistem kodifikasi maka sistem hukum ini bisa dipergunakan oleh
kepentingan politik, karena hukum tersebut ada karena dibentuk oleh badan-badan
politik. Maka hukum dan politik kaitannya sangat erat. Kodifikasi adalah sebuah
proses pengumpulan/penyusunan/penggolongan peraturan sehingga menjadi sebuah
kitab perundang-undangan yang dicatat secara tertulis. Sistem kodifikasi
diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah
keberagaman hukum. Hal ini agar kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai
peraturan raja dapat ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum. Untuk
itu, solusi yang diperlukan adalah kodifikasi hukum.
b. Hakim
tidak terikat sebuah doktrin atau stare decicis.
Hakim tidak terikat dengan doktrin atau stare decicis, dan
undang-undang digunakan sebagai rujukan untuk jalannya hukum tersebut. Dalam
hal ini hakim memang memiliki peranan sangat penting dalam menegakan hukum,
namun hakim tersebut tidak terikat oleh sebuah doktrin hukum tersebut melainkan
menjadikan hukum tersebut sebagai landasan/rujukan untuk menegakan hukum
tersebut. sehingga keputusan hukum yang dilakukan oleh hakim sebelumnya tidak
lagi lagi menjadi rujukan dikarenakan sudah diputuskan.
c. Sistem
hukumnya bersifat inkuisitorial.
Sistem hukumnya bersifat inkuisitorial, Bersifat
inkuisitorial dalam civil of law adalah seorang hakim berusaha mendapatkan
sebuah gambaran yang secara lengkap dari sebuah peristiwa yang terjadi dan
dihadapinya dari awal, inlkusitorial menekankan kejujuran dan profesionalisme
dari hakim yang menegakan hukum tersebut.
Selain memiliki karakteristik, civil of law juga memiliki
sumber hukumnya diataranya.
a. Undang-undang dibentuk oleh badan legislatif.
b. Peraturan dibuat oleh pemegang kekuasan tertinggi.
c.
Sebuah
hukum yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan dan diterima oleh masyarakat dan
sifatnya tidak bertentangan dengan undang-undang.
Jika kita melihat secara seksama
bahwa penganut sistem Eropa Continental atau Civil of Law masih perlu adanya mempertimbangkan
sebuah pandangan atau penemuan terhadap hukum modern yang di pelopori oleh Van Eikema Hommes dengan
memaknai hukum progresif yang artinya adalah menentang sebuah pendapat yang
mengatakan bahwa hukum yang ada tidaklah lengkap dan menjadi sebuah dasar hakim
dalam memutuskan sebuah peristiwa, memang pada kenyataanya hukum
perundang-undangan itu tidak pernah lengkap maka diperlukanlah seorang hakim
agar menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan kehidupan yang berlaku
didalam masyarakat, dengan begitu hakim juga dapat mempertimbangkan mengenai
putusan yang akan diambil demi menciptakan asas keadilan dan memberikan
keadilan bagi masyarakat, karena keadilan adalah tujuan utama dari adanya hukum
tersebut. jika hukum tidak ada keadilan sama saja seperti menjaring angin dalam
artian lain sia-sia.
Jika kita kembali kepada kasus
Baiq Nuril maka sama halnya Seperti yang tadi saya kemukakan bahwa kasus diatas
menimbulkan banyak pertanyaan besar terkait kasus tersebut dan keputusan yang
di ambil hakim tersebut. maka pertanyaan tersebut akan berkaitan erat dengan “Apakah sistem hukum tersebut masih relevan diberlakukan di
Indonesia?”.
Seperti yang sudah saya paparkan
mengenai Civil of Law diatas bahwa peranan hakim sangatlah penting dalam
melaksanakan sebuah hukum yang menciptakan keadilan dimana terdapat dua macam
yang menjadi dasar dari Civil of Law diantaranya :
a.
Peranan Hakim.
- Hakim tidak memiliki kebebasan dalam
menciptakan hukum baru, melainkan berdasar kepada kitab undang-undang yang
sudah dibuat oleh pemerintah, hakim hanya bisa menafsirkan terkait
peraturan-peraturan yang wewenangnya.
b.
Putusan Hakim.
- Putusan hakim tidak dapat mengikat secara umum akan tetapi hanya mengikat
kepada yang berperkara saja.
Sebelum saya mengungkapkan apakah
hukum tersebut masih relevan atau tidak jika digunakan diindonesia alangkah
baiknya kita mengetahui perbedaan dari kedua sistem hukum yang ada:
1) Common
Law Berdasar pada putusan-putusan hakim/ pengadilan (judicial decisions).
Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, walaupun tetap
mengakui peraturan yang dibuat oleh legislative. Namun terkadang bisa saja
hakim melakukan kewenangan yang sesuka hatinya untuk memutuskan bersalah atau
tidak atas perbuatan seseorang. Sedangkan;
2)
Civil Law, Berbasis pada hukum tertulis dan Menuangkan semaksimal mungkin norma ke
dalam aturan hukum. Yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang yang dibentuk
oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
jadi jelas bahwa perbedaan kedua
sistem ini sangatlah jauh perbedaanya dimana sistem hukum civil of law
menekankan bahwa harus berpatok kepada kitab undang-undang yang tertulis dan
hakim hanya menafsirkan dan memutuskan serta tidak bisa mengubah undang-undang
tersebut, namun berbeda dengan common law, hakim memiliki peranan penting dalam
melakukan keputusan dan keputusan tersebut tidak berlandaskan kepada hukum
tertulis saja melainkan juga kepada aturan yang dibuat oleh hakim tersebut
namun bukan berarti tidak menghargai aturan yang dibuat oleh legislatif.
Dari kedua hal ini saya saya
memandang memang kedua sistem hukum ini memiliki peranan masing-masing dan
memiliki keunggulan yang berbeda, namun karena indonesia menganut hukum Civil
of Law maka jika dilihat dari banyak kasus yang terjadi terkadang tidak memberikan
keadilan yang pasti bagi masyarakat. Apalagi jika menilik kasus Baiq Nuril yang
harus terjerat UU ITE karena hanya menyimpan sebuah audio percakapan yang
kemudian tersebar luas, padahal hal itu dilakukan karena Baiq merasa tidak
nyaman ketika kepala sekolah selalu bercerita tentang pengalaman berhubungan
sexualnya.
Menurut saya pribadi jika saja indonesia
menganut sistem hukum Common Law maka Baiq Nuril tidak akan terjerat UU ITE
karena hakim akan mempertimbangkan dan memutuskan perkara yang memandang
asas-asas peradilan sebagai bahan pertimbangan. Namun karena sistem civil law
maka ini terjadi, akan tetapi seharusnya juga kasus ini tidak perlu hakim
menjatuhkan pidana karena UU ITE kepada Baiq Nuril karena sepenuhnya ini
bukanlan kesalahan dia, melainkan dia hanya melindungi dirinya yang merasa geram
dan risih.
Civil of Law masih sangat relevan
digunakan diindonesia jika dibarengi dengan keputusan hakim yang lebih
mengedepankan asas-asas hukum yang ada sebagai bahan pertimbangan, mengapa
masih relevan?. Hukum itu tidak ada yang sempurna namun bisa disempurnakan,
memang pada dasarnya setiap hukum yang diciptakan masih memiliki kekurangan
didalam pelaksanaannya namun hukum tersebut dapat dikaji dan diperbaharui agar
menjadi sempurna dan menjadi lebih baik lagi. Menurut saya hukum akan berjalan
baik jika penegak sebagai subjek melakukannya dengan baik dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada.
2. Ada
dua sistem hukum yang berlaku di dunia, apakah dimungkinkan kedua sistem hukum
tersebut diberlakukan di Indonesia secara bersamaan? Berikan pendapat saudara
disertai dengan contohnya.
Kedua sistem hukum tersebut yakni Common Law dan
Civil Law.
1) Common
Law Berdasar pada putusan-putusan hakim/ pengadilan (judicial decisions). Melalui
putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, walaupun tetap mengakui
peraturan yang dibuat oleh legislative. Namun terkadang bisa saja hakim
melakukan kewenangan yang sesuka hatinya untuk memutuskan bersalah atau tidak
atas perbuatan seseorang. Sedangkan;
2) Civil
Law, sangat berpatok kepada keseluruhan hukum tertulis (written law) dan
Menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum. serta yang dibentuk
oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Jika diperingkas maka hakim yang
menganut hukum Common Law memiliki kebebasan dan memiliki wewenang secara penuh
untuk menentukan hukum yang sesuai dengan terdakwa, sedangkan Civil Law seorang
hakim tidak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri kepastian hukum kepada
terdakwa namun harus sejalan dengan perundang-undangan yang sudah ada dan sifatnya
tertulis didalam Kitab Undang-Undang.
Menurut saya sangat memungkinkan
jika dipakai diindonesia kedua hukum ini, dimana bukan hanya satu saja yang
dianut namun keduanya, selain berpatokan kepada Hukum Tertulis yakni
undang-undang, hakim juga bisa menentukan secara seksama hukum yang sesuai atau
dihukum atau tidaknya seseorang. Jika keduanya diterapkan diindonesia akan
mampu menjadikan hukum lebih baik. Memang pada dasarnya Common Law memberikan
kebebasan secara penuh kepada hakim untuk menentukan keputusan terhadap sesuatu
atas perkara yang ada namun hal ini diterapkan secara penuh dari Common Law
maka tidak akan relevan karena diindonesia banyak hakim yang cinta uang dan
mengesampingkan hukum yang ada demi keuntungan pribadi. Namun menurut saya
alangkah bagusnya diterapkan kedua sistem ini secara bersama-sama untuk
menciptakan hukum yang lebih adil dan tidak timpang.
Contoh
kasus :
Kasus nenek minah pada 2009 yang
divonis pidana 3 bulan dengan masa pencobaan selama satu bulan, hal itu
dikarenakan nenek minah (55) mencuri tiga buah kakao dikebun milik PT Rumpun
Sari Antan 4 di purwokerto. Dimana dalam kasus ini kita bisa menilai bahwa
hukum tersebut tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dimana sang hakim memutuskan
untuk memidanakan walaupun hanya beberapa bulan dan dengan masa pencobaan. Dari
kasus ini dapat dijadikan sebagai contoh bahwa jika tetap berpatokan kepada
Hukum Civil Of Law maka kasus-kasus seperti ini akan lebih sering terjadi
diindonesia seperti kasus di atasm yang dialami oleh Baiq Nuris, namun jika
kedua sistem hukum yang diterapkan secara bersama-sama maka hakim akan
memutuskan bahwa nenek minah ataupun Baiq akan dibebaskan karena dari kasus
nenek minah dipandang beberapa pertimbangan diantaranya umur yang tidak akan
memungkinkan menjalani proses pidana, hanya sebuah kakao dan itu dikembalikan.
Jika dari kasus Baiq harusnya tidak perlu terjadi karena dia hanya membela
dirinya yang merasa risih dan geram karena curhatan kepala sekolah. Seharusnya
hukum memberikan perlindungan kepada Baiq Nuris karena disini telah terjadi Pelecehan
sexual secara verbal, namun kenyataanya harus dipidana dan mengganti rugi
karena terjerat UU ITE.
Jadi dengan demikian sangatlah
relevan jika kedua sistem hukum ini diterapkan dan berjalan berdampingan sebagai
sebuah hukum yang dapat memberikan keadilan kepada masyarkat yang diputuskan
oleh seorang hakim.
3.Berdasarkan
kasus di atas menunjukkan bahwa hukum telematika saat ini mulai terus
berkembang seiring perkembangan zaman. Berikan pendapat saudara mengenai
perkembangan hukum telematika dan implementasi UU ITE apakah kasus Baiq Nuril
memang termasuk pelanggaran UU ITE? Jelaskan!
Telematika
berasal dari bahasa prancis “ Telematique” yang
mendefinisikan dari sebuah sistem jaringan komunikaSi dengan teknologi
informasi. Istilah Telematika sendiri dapat merujuk kepada sebuah perkebangan
teknologi serta perangkat-perangkat pengolah
informasi tersebut. dari perkembangan teknologi dan infomasi itulah negara
berperan untuk dapat menjadikan kehidupan dalam dunia maya menjadi terkontrol.
Dan dari pemikiran tersebutlah timbul sebuah aturan yang tertuang didalam
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Seperti
yang kita ketahui bahwa hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dijabarkan
secara rasional namun mampu dibuat dan diterapkan, hukum sendiri tidak akan tetap
melainkan akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sifat hukum yang
tidak relevan akan dikaji ulang dengan seksama agar hukum tesebut dapat menjadi
lebih baik entah itu dalam maksud dan tujuan undang-undang, atau pelaksanaan
dari aturan tersebut. UU ITE pertama kali muncul pada masa kekuasaan Abdurahman
Wahid pada tahun 2000 an dan disahkan oleh Presiden SBY pada 2008 dimana pada
masa itu revolusi industri generasi 4.0 yang sudah merabak diseluruh indonesia
terkhususnya dalam perkembangan internet serta kecepatan tinggi sebuah
penyimpanan seperti micro sd, hardisk dan flashdisk. Dari perjalanan UU ITE
terus mengalami perubahan dan direvisi oleh pemerintah untuk menciptakan UU ITE
menjadi lebih baik. Darisini kita dapat melihat bahwa hukum itu sifatnya tidak
tetap dan dapat diperbaharui jika aturan tersebut terlihat sudah tidak relevan,
baik itu di rubah keseluruhan atau dirubah sebagian. Memang pada dasarnya
diciptakan UU ITE ini adalah untuk melengkapi aturan di zaman yang sudah berkembang
dalam dunia Digital.
Menurut
saya UU ITE Pencemaran nama baik di dunia maya alangkah baiknya pemerintah harus merevisi karena dalam setiap
kasus tidak adanya ketidak adilan. Padahal sejak pertama kali di sahkannya UU
No 11 Tahun 2008 yang kemudian diperbaharui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang
informasi Transaksi Elektronik (ITE) kebebasan berpendapat dinilai semaking terkurung
terkhususnya oleh seorang yang berprofesi sebagai wartawan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai UU No 40 Tahun 1999 tentang kebebasan Pers. Karena dengan
adanya UU ITE ini semakin mudah orang melaporkan tindakan pidana terhadap orang
lainnya. Memang pada dasarnya diciptakan UU ITE ini dimaksudkan untuk menjaga
ruang dunia maya agar tetap bersih, beretika, dan produktif. Dalam penerapan UU
ITE tidak boleh menimbulkan rasa ketidakadilan bagi setiap masyarakat yang ada.
Apakah kasus Baiq Nuril masuk dalam rana UU ITE?
Dari
sebagian kasus yang terjerat kedalam UU ITE adalah sebagian besarnya masuk
kepada rana Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai pencemaran nama baik atau
defamasi. Dan dari adanya banyak kasus yang terjadi masyarakat indonesia terus
menyuarakan agar UU ITE tersebut dapat ditarik kembali dan direvisi agar
menciptakan kehidupan yang adil di negara ini. Dari kasus Baiq Nuril memang
penerapan UU ITE terlihat jelas sangat salah kaprah dalam penggunaan UU
tersebut. maka dari itu banyak golongan-golongan masyarakat agar direvisi
kembali UU ITE tersebut, mengapa bisa dibilang keputusan yang salah kaprah? Karena
bagaimana bisa melindungi diri sendiri bisa dikenakan UU ITE dan dipidanakan. Dengan
begitu Akibat adanya UU ITE tersebut dapat merugikan masyarakat untuk dapat
membela diri, tidak sedikit kasus melainkan banyak korban dari kasus yang
dijerat oleh UU ITE, Baiq Nuril hanya
satu dari sekian banyak yang terjerat.
Seharusnya
Baiq Nuril tidak bisa dijerat UU ITE karena bukti yang ada tidak mengarah
kepada pelanggaran UU ITE mengapa demikian? Bukti berupa audio yang tersebar adalah
bukti yang cacat hukum atau bukti yang tidak sah dan tidak memenuhi pasal 5 dan 6
UU ITE. Dan dari keseluruhan kasus ini adalah pembelaan diri dari Baiq Nuril.
Dari kasus
ini memang banyak sekali pertanyaan yang timbul dimana penerapan hukum yang
melibatkan UU ITE secara salah kaprah, haruskah orang membela diri harus
dipidana dan dikenakan UU ITE?, seharusnya hakim dapat mempertimbangkan bahwa yang
terdakwa melakukan hal tersebut untuk membela dirinya bukan sengaja untuk
menjatuhkan nama baik orang lain, seperti yang tertuang didalam pasal 27 ayat (1)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan. Dan pasal 27 ayat 3 UU ITE mengatur
bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.
Jika menilik pasal tersebut kita melihat bahwa setiap orang
dengan sengaja membuat dan menyebarkan dari barang bukti tersebut dapat dijerat
pidana, padahal dalam penyidikan ternyata Baiq Nuril tidak pernah
menyebarkannya dan menyimpannya sebagai bahan untuk membela dirinya yang geram
dan kesal karena Kepala Sekolah selalu menceritakan kisah pengalaman yang tidak
baik tersebut.
Tapi kembali lagi kepada sistem hukum yang ada diindonesia
bahwa sistem yang dianut adalah sistem Civil Of Law dimana hakim hanya menafsirkan
dan menjalankan maksud dan tujuan dari perundang-undangan ITE tersebut, dan menafsirkannya
bahwa Baiq Nuril masuk kedalam rana UU ITE. Nah pentingnya UU ITE direvisi agar
menciptakan rasa aman dan keadilan bagi masyarakat, serta menerapkan sistem
hukum Common Law yang dibarengi dan berjalan bersama dengan Civil Law agar hakim
dapat mempertimbangkan dari hukum yang tertulis, asas-asas hukum lain dan
penalaran logis serta memutuskan untuk mengambil
sebuah keputusan yang tidak melukai sebuah keadilan.
Kesimpulan :
Sistem hukum civil law adalah sistem
hukum yang lebih mengedepankan undang-undang. Prinisip utama ini dianut oleh
karena nilai dasar utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum.
Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan apabila tindakan-tindakan hukum manusia
dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Sedangkan
Sistem common law merupakan sebuah sistem hukum berbasis perkara, yang
berfungsi melalui penalaran logis. Tradisi common law yang biasanya
diidentifikasikan dengan sebuah sistem berbasis kasus, tetapi meskipun kasus
memainkan peran yang dominan. Pada dasarnya kedua sistem hukum ini memiliki keunggulan dari setiap
sistemnya.
UU ITE memang diciptakan
sebagai sarana untuk melindungi setiap aktivitas yang ada didalam dunia maya
agar menciptakan kehidupan dalam era digital ini menjadi lebih baik, namun pada
penerapannya seringkali menjadi salah kaprah dan justru digunakan sebagai
senjata untuk kepentingan-kepentingan orang yang memiliki kuasa untuk menindas
orang yang lemah, karena UU ITE ini rentan terjadi dan banyak kasus yang
dijerat UU ITE ini, dan semua yang terjadi tidak pernah ada keadilan yang diciptakan
dari UU ITE ini terkhususnya bagi masyarakat kecil.
UU ITE perlu direvisi
mengapa demikian, saya sendiri bekerja sebagai wartawan atau jurnalis dari
media menjadi tekekang dan seakan-akan terikat karena adanya UU ITE ini dan
tidak sejalan malah justru UU ITE dan UU PERS No 40 Tahun 1999 pasal 18 ayat 1,
2, dan 3 menjadi bertentangan, pada pasal tersebut menjelaskan bahwa pers
memiliki kebebasan mencari, memperoleh dan menyebarlauaskan informasi demi
kepentingan umum, namun hal tersebut tidaklah sejalajan dengan UU ITE yang
menjelaskan bahwa setiap orang yang mendistribusikan, menyebarluaskan justru
malah akan dipidana. Jadi untuk apa negara ini dibuat demokrasi jika pendapat
masyarakat harus dikekang dengan UU ITE? Benarkah UU ITE dijadikan sebagai alat
politik untuk kepentingan orang-orang besar dan berpengaruh seperti yang banyak
diberitakan oleh medi-media? Kita tidak tahu, kita hanya dituntut untuk taat
kepada pemerintah.
Sumber referensi :
1.
ISIP4130.Modul 10.
Hal. 10.4, 10.5, 10.6, 10.7, 10.29, 10.31, 10.32, 10.33, 10.34, 10.35.
7.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/13/140000869/sistem-hukum-di-indonesia?page=1