AESENNEWS.COM - Prof. Soebekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perdata memberikan pendapatnya tentang hukum perdata, yaitu hukum perdata dalam arti luas adalah hukum yang mencakup semua hukum pokok yang mengatur tentang hukum perseorangan. Sedangkan Prof. Dr. Ny Sri Soedewi Mahsjhoen Sofwan, S. H. berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan warga negara yang satu dengan yang lainnya.
Walaupun hukum perdata memiliki definisi sebagai hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan dengan warga negara lainnya, tetapi bukan berarti hukum perdata mengatuir semua kepentingan perseorangan, melainkan disebabkan karena perkembangan masyarakat dalam bidang hukum perdata banyak yang telah diwarnai oleh hukum publik seperti hukum perkawinan.
Perkembangan hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari poitik Hindia Belanda. Hal ini dapat kita lihat pada keadaan hukum perdata di Indonesia setelah adanya politik hukum Hindia Belanda dapat digambarkan sebagai berikut.
- Untuk orang pribumi asli, hukum yang berlaku adalah hukum adat yaitu hukum yang sejak dulu telah diterapkan masyarakat sekitar yang mana hukum tersebut hampir semuanya belum tertulis tetapi telah tertanam dalam benak masyarakat dan dijadikan pedoman dalam menjalani hidup.
- Untuk WNI yang bukan merupakan warga asli Indonesia (Cina), hukum yang berlaku adalah kitab Undang-undang hukum perdata (BW) serta kitab Undang-undang hukum dagang (W v K), tetapi dengan diberlakukannya aturan bahwa untuk warga negara Tionghoa mengenai kitab undang-undang hukum perdata tidak berlaku untuk mereka dan berlaku Burgerlijk Stand untuk mereka tersendiri.
- Untuk warga Timur Asing yang tidak berasal dari Tionghoa dan Eropa, yang termasuk di dalamnya adalah Arab, India, dan lain sebagainya berlaku kitab Undang-undang hukum perdata yang berpokok pada aturan mengenai harta kekayaan tetapi hukum pribadi, hukum waris, dan kekeluargaan tidak termasuk di dalamnya.
Lalu, mengapa terjadi pluralisme dalam hukum perdata di Indonesia?
Pluralisme terdiri dari dua kata yaitu “plural” yang memiliki arti beragam dan “isme” yang memiliki arti paham atas keberagaman. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pluralisme secara luas memiliki arti paham yang menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat dan tidak melarang masyarakat yang berbeda tersebut untuk memeilihara budayanya masing-masing.
Pluralisme hukum perdata pada masa kolonial masih tetap dijalankan bangsa Indonesia di masa sekarang ini. Hukum perdata masih berpegang teguh pada prinsip pluralistik yang di dalamnya terkandung hukum Perdata Eropa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sistem hukum perdata adat, serta sistem hukum perdata Islam. Ketiga sistem hukum tersebut masih bertahan dan diterapkan secara formal oleh lembaga peradilan dalam mengambil keputusan.
Sejarah hukum Indonesia dapat menjelaskan bahwa negara Belanda selaku negara penjajah berusaha untuk menerapkan hukum-hukumnya, salah satunya adalah hukum perdata yang menyebabkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) pada tanggal 1 Mei 1848 berlaku di Indonesia berdasar pada asas konkordansi, yaitu asas kesamaan hukum yang diterapkan dalam daerah yang dijajah sesuai dengan hukum yang berlaku di Belanda, sehingga BW digunakan terhadap golongan Eropa serta Timur Asing, dan untuk rakyat Indonesia asli diberlakukan hukum perdata adat. Keadaan hukum pluralisme tersebut berlaku dalam masyarakat yang menyebabkan timbulnya dualisme hukum, yaitu adanya perbedaan hukum yang berlaku dalam golongan yang berbeda dalam satu negara. Keadaan tersebut dinamakan sebagai pluralisme dalam hukum perdata. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum perdata BW masih tetap diberlakukan sesuai dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Tetapi, hukum perdata Barat yang terkandung dalam BW tersebut diubah dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang sampai saat ini tetap diterapkan dan dijadikan sebagai sumber hukum perdata di Indonesia.
Mengenai faktor yang menjadi penyebab terjadinya pluralisme dalam hukum perdata di Indonesia adalah faktor golongan penduduk. Sejak berlakunya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 setelah proklamasi kemerdekaan, pasal 163 IS jo Pasal 75 RR tidak berlaku lagi. Namun, dalam aspek hukum perdata, faktor golongan penduduk masih mengambil peran. Jadi, kenyataannya adalah peninggalan sejarah hukum yang menjadikan penduduk Indonesia terbagi menjadi tiga golongan masih tetap dipertahankan dalam hukum perdata. Oleh sebab itu, penerapan hukum perdata dalam praktek peradilan masih berpatokan pada faktor golongan penduduk. Golongan Eropa dan golongan Tionghoa akan mengacu pada hukum perdata yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sedangkan untuk golongan pribumi hukum yang berlaku adalah hukum adat.
Faktor agama juga turut memperkuat terjadinya pluralisme dalam hukum perdata di Indonesia karena adanya perbedaan hukum yang diterapkan pada penduduk yang berbeda agama. Masyarakat yang beragama Islam akan diterapkan hukum perdata Islam, sedangkan yang beragama non Islam akan diterapkan hukum adat. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hukum perdata yang diterapkan untuk golongan Eropa dan golongan Timur Aasing adalah hukum perdata yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk golongan pribumi yang beragama non Islam hukum perdata yang diterapkan adalah hukum adat, sedangkan untuk pribumi yang beragama Islam hukum perdata yang diterapkan adalah hukum Islam. Pihak yang berwenang untuk mengadili sengketa perdata untuk golongan Eropa, Timur Asing, serta pribumi yang beragama non Islam diberikan kepada yuridiksi Peradilan umum, sedangkan pihak yang berwenang untuk mengadili sengketa perdata untuk golongan pribumi yang beragama Islam diberikan kepada yuridiksi peradilan agama.
Kedudukan KUHPerdata setelah Indonesia merdeka
Pasal II tentang aturan peralihan menyebutkan bahwa “Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Hal tersebut dipertegas dalam Peraturan Pemerintah RI No 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 yang berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada sampai berdirinya UUD masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan UUD tersebut”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadaan KUHPerdata setelah Indonesia merdeka masih tetap diberlakukan sebelum adanya cabutan yang dilakukan oleh ketentuan baru yang diterapkan. Dengan berlakunya ketentuan KUHperdata sebagai hukum yang positif beberapa ahli menyuarakan pendapatnya sebagai berikut.
- Prof. Saharjo, S.H.
Oleh karena pembentukan KUHPerdata berdasar pada pikiran penjajah yang diskriminatif yang berencana menurunkan KUHPerdata bukan sebagai kitab UU tetapi sebagai kumpulan hukum kebiasaan. Dengan demikian, KUHPerdata bukan lagi sebagai UU tetapi kumpulan hukum kebiasaan yang kemudian hakim yang akan menentukan apakah pasal yang tercantum dalam KUHPerdata tersebut sesuai dengan alam kemerdekaan.
- Prof. Mahadi
Prof. Mahadi mendukung gagasan dari Prof. Saharjo, S.H. tetapi tidak sepenuhnya dikarenakan beliau memiliki pendapat bahwa pasal-pasal yang tercantum dalam KUHPerdata bukan sebagai UU yang satu ikatan secara kodifikasi. Namun, apabila berdiri secara terpisah dalam sistem kodifikasi maka pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai UU
- Dr. Mathilda Sumampouw , SH
Dr. Mathilda Sumampouw , S.H. memiliki pendapat yang berbeda dari Dr. Saharjo dan Prof. Mahadi dikarenakan beliau berkehendak akan adanya kepastian hukum jika KUHPerdata dipandang sebagai kumpulan hukum kebiasaan maka akan terjadi kekosongan hukum yang menyebabkn ketidakpastian hukum tercipta.
- Prof. Soebekti
Prof. Soebekti berpendapat bahwa surat yang dikeluarkan oleh MA No. 3 Tahun 1863 tidak memiliki kekuasan hukum dalam pencabutan pasal-pasal KUHPerdata, hakimlah yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah pasal-pasal KUHPerdata tersebut masih berlaku atau tidak. Sehingga, yurisprudensi akan menyampingkan pasal-pasal dalam KUHPerdata tersebut.
Referensi:
Agustina, R. (n.d.). Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata. http://repository.ut.ac.id/4053/1/HKUM4202-M1.pdf
K. (2005, September 9). Pluralisme. Wikipedia.org; Wikimedia Foundation, Inc. https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme
Noor, M. (n.d.). UNIFIKASI HUKUM PERDATA DALAM PLURALITAS SISTEM HUKUM INDONESIA. https://media.neliti.com/media/publications/57818-ID-unifikasi-hukum-perdata-dalam-pluralitas.pdf
Delianoor, N. A.(2022). Sistem Hukum Indonesia, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka