-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

fakta bahwa secara empiris hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak.

AESENNEWS.COM
Wednesday, May 17, 2023, 11:15:00 AM WIB Last Updated 2023-05-24T14:40:52Z

AESENNEWS.COM - AESENNEWS.COM - Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa "tidak ada tindakan pidana dan hukuman kecuali berdasarkan undang-undang yang ada sebelumnya". Asas legalitas dalam hukum pidana mengacu pada prinsip bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas tindakan yang tidak diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang. Oleh karena itu, asas legalitas dikenal sebagai prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege, yang berarti tidak ada kejahatan dan hukuman tanpa undang-undang. Namun, fakta empiris menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak. 

Berikut adalah 3 fakta yang dapat membuktikannya:

1. Adanya Pasal Karet atau Lex Generalis
Pasal Karet atau Lex Generalis adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada ketentuan hukum yang bersifat umum dan ambigu, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang bervariasi oleh aparat penegak hukum dan hakim dalam memutuskan suatu kasus. Dalam prakteknya, Pasal Karet sering digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana dengan pasal yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Contohnya, dalam kasus tindak pidana korupsi, seringkali pelaku dijerat dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau penggelapan, meskipun sebenarnya perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.

2. Penegakan hukum yang tidak adil
Kadang-kadang, penegakan hukum di Indonesia tidak adil dan tidak selalu memenuhi prinsip asas legalitas. Contohnya adalah penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap orang yang diduga melanggar hukum, tetapi tidak didukung oleh bukti yang cukup atau tanpa prosedur yang benar.

3. Adanya asas Kepentingan Umum atau Utilitarianisme
Asas Kepentingan Umum atau Utilitarianisme adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada pemikiran bahwa keputusan hukum harus didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam prakteknya, asas ini sering digunakan untuk membenarkan tindakan hukum yang tidak sesuai dengan asas legalitas mutlak. Misalnya, dalam kasus terorisme, pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal yang belum ada sebelumnya, dengan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan demi kepentingan dan keselamatan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam kesimpulannya, meskipun asas legalitas dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, namun fakta empiris menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia tidak selalu menganut asas legalitas mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada perbaikan yang perlu dilakukan dalam sistem peradilan pidana Indonesia untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua orang.

4. Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara tertulis 

Di Indonesia hukum yang berlaku (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa, hukum adat dan hukum Islam (terutama dalam hukum perdata). Dalam lapangan hukum pidana selain atas dasar KUHP dan Kitab Undang-Undang di Luar KUHP sebagai dasar legalitas perbuatan yang dapat dihukum. Pada masyarakat adat juga diberlakukannya hukum adat pidana yang pada umumnya tidak tertulis tapi dipertahankan oleh masyarakat adat. Sebagai peletak dasar pengecualian berlakuanya hukum yang tidak tertulis melalui hukum pidana adat maka ditetapkanlah UU Darurat No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (3) sub B Jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 TentangPenetapan Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti UU yang sudah sda Sebelum tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang.

5. Peraturan Hukum Pidana tidak boleh berlaku surut 

Untuk menjamin kepastian hukum harus ditetapkan terlebih dahulu ketentuan pidana tentang suatu perbuatan tindak pidana, kemudian pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, sejak undang-undang tersebut dinyatakan berlaku dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara. 

Pada kenyataannya hukum pidana tidak menganut prinsip asas tidak berlaku surut secara mutlak, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa apabila undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Ini membuktikan bahwa undang-undang dapat diberlakukan surut selama ketentuan undang-undang yang lama atau terdahulu lebih menguntungkan terdakwa. Menurut R Soesilo bahwa lebih menguntungkan meliputi ringannya hukuman, tentang anasir peristiwa pidananya, tentang delik aduan atau tidak, mengenai persoalan salah tidaknya terdakwa, dsb.

6. Dalam penerapan hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi 

Analogi adalah menerapkan suatu ketentuan hukum pidana yang mempunyai kemiripan atau bentuk yang sama terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengaturnya. Penerapan analogi menunjukkan ketertinggalan hukum terhadap apa yang seharusnya diaturnya.

Salah satu contoh penerapan analogi penegakan hukum pidana adalah penerapan analogi oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 1983, melalui putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/PID/1983/PN/Mdn Bismar Siregar menganalogikan unsur barang yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP dengan keperawanan wanita (alat kelamin perempuan atau “bonda” dalam bahasa Tapanuli) dan sekaligus menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Kasusnya mengenai seorang pria yang bernama Mertua Raja Sidabutar yang berjanji akan menikahi seorang gadis setelah ia melakukan hubungan persetubuhan dengannya, tetapi si pria ingkar janji sehingga sang gadis merasa ditipu. Putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra, akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.


Jadi, Asas legalitas adalah tidak ada perbuatan dapat dihukum kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. Makna Asas legalitas adalah (a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, (b) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas),(c) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Indonesia dianggap tidak menerapkan asas legalitas secara mutlak karena menyimpang dari makna asas legalitas tersebut.


Komentar

Tampilkan

  • fakta bahwa secara empiris hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak.
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x