AESENNEWS.COM - Pembebasan hak atas tanah yang terjadi diindonesia saat ini memang menjadi polemik besar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saati ini, seperti yang kita ketahui dari pembacaan berita pada kanal website komnasham.go.id, pada pemberitaan tersebut yang dibuat 2019 lalu terdapat lebih dari 50 kasus yang dilaporkan oleh masyarakat karena pembangunan infrastruktur terkhususnya tol yang dibangun dan membentang dari provinsi jawa timur hingga provinsi banten. Dari penjelasan yang ditulis dalam berita tersebut lebih dari 50 pengaduan yang disampaikan masyarakat terjadi sejak tiga tahun sebelumnya.
1.
Bagaimanakah proses pembebasan hak atas
tanah yang terjadi diindonesia saat ini?
Sebelum kita mengetahui alur atau proses
pembebasan hak atas tanah yang sesuai dengan perundang-undangan alangkah
baiknya kita mengetahui pasal-pasal yang mengaturnya. Jika kita mengacu kepada pasal
18 UU nomor 5 Tahun 1960 tentang “UU Pokok Agraria yang didalamnya menyatakan
pencabutan tersebut jika digunakan untuk kepentingan umum, termasuk didalamnya
kepentingan negara serta kepentingan bersama masyarakat. Namun didalam UU Pokok
Agraria tersebut pemerintah atau negara bukan hanya mencabut hak atas tanah
tersebut secara bebas, namun negara juga harus beertanggung jawab atas tanah
yang dicabut dari haknya tersebut yakni “pemerintah harus mengganti kerugian yang
layak dan menggantinya menurut ketentuan yang ada didalam perundang-undangan
yang berlaku”. Dalam perundang-undangan
yang berlaku tersebut diharapkan mampu memberikan keadilan kepada masyarakat
yang dicabut hak atas tanahnya tersebut. dengan demikian jika tanah tersebut sudah sah
digunakan sebagai kepentingan umum maka pemiik hak atas tanah sebelumnya
menjadi tidak sah dan dihapuskan hak nya. Pencabutan hak tersebut tidak
berlandaskan pada pemerasan atau penyitaan melainkan menjadikan tanah tersebut
sebagai kepentingan bersama dan diberikan kompensasi yang sesuai.
Menilik dari penjelasan di atas kita
dapat memahami beberapa proses pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum
seperti di bawah ini:
Kembali kepada UUPA Pasal 18 maka
dibuatlah sebuah undang-undang yang dapat mengatur pencabutan hak tersebut
yakni UU Nomo 20 tahun 1961 yang menjadi dasarnya dimana didalamnya terdapat beberapa
syarat jika harus melakukan pencabutan hak atas tanah, hal tersebut meliputi :
a. Dipakai untuk kepentingan umum termasuk
didalamnya bangsa, negara serta untuk kepentingan mayarakat yang dipakai secara
bersama-sama misalnya jalan, akses perairan dll.
b. Sebagai cara terakhir untuk memperoleh tanah
yang diperlukan pemerintah, hal itu jika musyawarah tidak mendapatkan hasil
apa-apa.
Subjek pemohon pencabutan hak pemerintah/swasta/pemda/BUMN/BUMD
yang dijelaskan dalam pasal 5 butir b UU No 20 Tahun 1961 umumnya kita ketahui
sebagai pencabutan hak atas keperluan usaha negara (pusat dan daerah
) namun jika kita kembali melihat pasal 18 UUPA hal ini hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan umum saja , akan tetapi sebagai pengecualian diadakanlah pula
pencabutan hak guna pelaksanaan untuk usaha-usaha swasta asal saja benar-beanar
digunakan sebaga kepentingan umum. Contoh kepentingan umum diantaranya; pembuatan
sebuah jalan raya, pembuatan sebuah pelabuhan, pembuatan bangunan untuk
industri pertambangan, perumahan, dan kesehatan masyarakat.
Proses
pengajuan permintaan pencabutan hak-hak atas tanah menurut Dalam pasal 2 dan 3 UU No.20/1961
dibagi dua sebagai berikut:
A.
Secara tidak mendesak atau biasa.
1. Yang berkepentingan harus mengajukan
surat permintaan untuk pencabutan hak itu kepada presiden dengan melalui
perantara menteri-menteri agraria diantaranya :
a. Menentukan perencanaan, peruntukan dan
alasan-alasan bahwa hal tersebut untuk kepentingan umum.
b. Informasi tertulis mengenai Rentetan
nama, luas tanah serta harta benda yang ada diatasnya.
c. Mengumpulkan orang-orang yang tanahnya
akan dicabut haknya dengan sosialisasi
dan memberikan agensi untuk penggantian rugi yang sesuai.
2. Kepala inspeksi harus mengusahakan keputusan
tersebut yang diketahui dan dilengkapi
dengan kepala-kepala daerah yang
bersangkutan dan menentukan jumlah ganti rugi yang akan diberikan
selambat-lambatnya tiga bulan.
3. Setelah menentukan ganti rugi yang sudah
disepakai selanjutnya kepala daerah melayangkan surat lanjutan kepada kepala
mentri agraria yang disertai pertimbangan-pertimbangan yang bersangkutan.
4. Setelah itu menteri agrari mengajukan
permohonan kepada presiden untuk mendapatkan keputusan yang disertai dengan
pertimbangan dari kepala daerah dan menteri
agraria yang bersangkutan.
5. Penguasaan atas tanah tatau benda-benda
tersebut dapat dilakukan setelah pembayaran ganti rugi dilakukan kepada
masyarakat atau pemegang hak sebelumnya.
6. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan Kepala Daerah dan panitia peaksir belum menyampaikan pertimbangannya,
maka Kantor wilayah BPN Provinsi dapat menyampaikan permintaan pencabutan hak
atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa
menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan panitia penaksir.
B.
Secara mendesak
Didalam pasal 6 UU No 20 Tahun 1961
diatur keadaan mendesak tersebut karena memang pada dasarnya keputusan yang
dibuat memang sifatnya mendesak seperti misalkan pembuatan rumah sakit karena
rumah sakit didaerah tersebut mengalami kekurangan tempat, misalnya saja
terjadi sebuah wabah seperti covid-19 dan memerlukan penambahan armada sebuah
rumah sakit untuk menampung penderita wabah tersebut. dari hal tersebut kita bisa melihat proses
atau alurnya sebagai berikut ini:
a. Kepala inspeksi agraria melakukan permintaan
pencabutan hak kepada kepala menteri agraria tanpa disertai dengan taksiran
ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik haknya dari panitia penaksiran
dan jika memungkinkan tidak perlu menunggu persetujuan atau pertimbangan dari
kepala daerah. Kepala agraria langsung bisa memberikan kuasa kepada yang
memiliki kepentingan untuk dapat menguasai tanah tersebut.
b. Namun jika telah dilakukan penguasaana
tas tanah tersebut, dan presiden memutuskan menolaknya maka yang berkepentingan
harus mengembalikan hak atas tanah tersebut kepada pemilik semula.
Jadi dalam keadaan mendesak ini tidak
perlu menunggu keputusan presiden melainkan dilakukan secara belakangan dan
mengikuti dari keputusan menteri agraria, namun kelemahannya jika presiden
tidak menyetujui dan menolak maka harus dikembalikan kepada pemilik hak awal.
Contoh kasus
Puluhan warga menolak
penggusuran di pemukiman Kampung Sawah, Semper Timur, Cilincing, Jakarta
Utara untuk pembangunan jalan tol Cibitung-Cilincing, Kamis (03/11/2020).
Sumber : https://poskota.co.id/2020/12/03/rumah-digusur-untuk-pembangunan-jalan-tol-warga-kampung-sawah-menolak
Dari kasus ini kita dapat
melihat ironi yang terjadi penggusuran tanah dan bangunan yang sudah didiami
selama puluhan tahun ditempat itu harus digusur dan diratakan dengan tanah untuk
pembangunan sebuah jalan tol. Memang pada dasarnya jika digunakan untuk
kepentingan umum dan dilakukan penggantian ganti rugi yang sesuai saya fikir
akan senang hati mendukung pembangunan tersebut namun jika tidak sesuai maka tidak
menutupkemungkinan warga akan protes.
Jika kita menelaah kasus
tersebut, pergantian tersebut tidak sesuai yang mereka harapkan, mereka
mengharapkan pergantian ganti rugi termasuk tanah dan bangunannya yang sesuai
dengan UUPA Pasal 18 dimana disana dijelaskan bahwa pergantian tanah dan harta
benda yang ada diatasnya. Warga semper timur mendesak pemerintah untuk mengganti
berikut tanahnya, mereka menjelaskan bahwa pergantian memang dilakukan namun
hanya bangunannya saja tidak berikut dengan tanahnya sehingga membuat warga
protes. Warga hanya meminta pergantian sebesar 5 juta per meter atas tanahnya
atau berapa saja agar tidak kosong sama sekali.
Warga menilai bahwa
pengusuran ini melanggar karena tidak adanya mediasi atau penyuluhan dari pihak
BPN jakarta utara kepada warga terkait hak kepemilikan tanah mereka harus
digali.
Melihat contoh kasus yang
terjadi diatas kita dapat melihat bahwa ketentuan yang ada dalam pasa 8 UU
Nomor 20 tahun 1961 tidak laksanakan dengan baik, yakni mengganti rugi dengan
layak dan sesuai entah itu tanah dan benda yang ada diatasnya.
Pada dasranya memang
peraturan itu ada dan tercipta untuk keadilan kepada masyarakat namun jika
melihat kasus-kasus yang terjadi ternyata banyak yang tidak mendapatkan
keadilan tersebut. jadi pemerintah pusat terkhususnya presiden harus mengkaji
para pemimpin yang ada dibawahnya dimana melaksanakan tugas tidak sesuai dengan
peratura perundang-undangan yang sesuai.
2. Bagaimanakah pemberian ganti rugi tanah
yang akan dibebaskan haknya untuk kepentingan umum?
Jika kita menilik pada pasal 18 UU No 20
Tahun 1961 bahwa disana kita akan menemukan aturan yang sudah ditentukan untuk pelaksanaan
pergantian rugi atas hak tanah yang dicabut untuk kepentingan umum seperti pada
kasus diatas yang digunakan sebagai fasilitas jalan tol oleh pemerintah. Didalam
pasal 18 ini dijelaskan bahwa pergantian rugi atas hak tanah yang dicabut harus
layak jumlahnya.
Dalam peraturan presiden nomor 65 tahun 2006 tentang “perubahan atas
peraturan presiden nomor 3 tahun 2005 tentang pengadaan tanah dan pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum” terdapat beberapa jenis pergantian rugi atas
tanah yang diambil haknya untuk kepentingan umum diantaranya:
a. Pasal 1 ayat 11 “ganti rugi adalah
pergantian kerugian terhadap bentuk fisik dan bentuk non fisik yang diakibatkan
oleh pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum,
diantaranya bangunan, tanah tanaman, atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah tersebut yang terkena dampak dari peraihan hak tersebut.
b. Pasal 12 ganti rugi dalam rangka
pengadaan tanah yang diberikan untuk :
1. Hak atas tanah
2. Bangunan
3. Tanaman
4. Benda-benda lain yang ada diatas tanah
dan berkaitan dengan tanah.
c. Bentuk ganti rugi.
1. Uang dan/atau,
2. Tanah pengganti dan/atau,
3. Pemukiman kembali.
Jika masyarakat yang menolak mengganti
dengan uang maka pemerintah harus mengadakannya dengan pergantian yang layak
seperti bangunan baru atau tanah yang lokasinya berbeda namun sepadan dengan
kerugian awal.
Kesimpulan :
Jika kita menilik kasus-kasus yang terjadi
diindonesia khususnya dalam persengketaan tanah yang dilakukan pemerintah untuk
kepentingan umum masih menjadi polemik yang besar dan masih banyak penolakan,
penolakan tersebut diakibatkan karena tidak sesuainya pergantian rugi yang
diberikan pemerintah kepada pemilik hak sebelumnya. Jika kita beranggapan
pemerintah tidak punya uang sepertinya prasangka yang tidak mungkin, atau
adakah oknum yang menggunakan jabatannya untuk mengambil hak tersebut? mungkin
saja dari pemerintah pusat memberikan hak yang sesuai namun ketika sampai
keapda masyarakat justru terdapat pemotongan-pemotongan yang tidak semestinya
dalam artian lain korupsi? Kita tidak tahu, yang kita harapakan adalah ketika
hal ini terjadi pemerintah pusat harus bisa mengkoordinir agar bisa berjalan
dengan baik terkhususnya pergantian rugi yang sesuai dengan nilai tanah dan
barang-barang yang ada di atas tanah tersebut. demikian analisis saya.
Terimakasih.
SUMBER REFERENSI
2.
https://slidetodoc.com/pencabutan-hak-atas-tanah-menurut-ketentuan-hukum-tanah/
3.
https://123dok.com/article/pencabutan-hak-atas-tanah-untuk-kepentingan-umum.q5rdmmjz