AESENNEWS.COM, Cigugur, Kuningan – Ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom menyoroti absennya ruang-ruang publik bagi kelompok penghayat kepercayaan yang dibuktikan dengan minimnya pelibatan kelompok penghayat dalam berbagai kegiatan lintas agama. Hal itu ia sampaikan pada sesi diskusi kegiatan Seminar Agama-Agama (SAA) Ke-37 PGI di Pendopo Paseban, Cigugur, Kuningan pada Kamis (17/11/2022).
“Selama pandemi, banyak sekali doa lintas agama. Saya bisa pastikan kalau acara itu formal dan resmi, pasti selalu diisi oleh pemimpin agama dari 6 agama yang sudah kita kenal, tidak ada hadir dari agama-agama di luar agama itu. Sepertinya ruang publik kita tidak tersedia untuk mereka, hanya menjadi wacana,” jelas Pendeta Gomar.
Selain itu pihaknya menjelaskan dalam berbagai forum percakapan resmi di instansi pemerintahan ketika berbicara tentang musyawarah besar umat beragama dan forum kerukunan umat beragama, selalu yang terlibat hanya dari 6 agama saja. Pihaknya menyayangkan atas tidak dilibatkannya kelompok-kelompok di luar 6 agama tersebut dalam pengambilan keputusan strategis di Indonesia.
“Tradisi seperti ini sebetulnya nggak asli orang Indonesia, ini bukan sikap orang Indonesia. Hal seperti ini baru berkembang sesudah tahun 1965, sebelumya nggak ada yang seperti itu,” lanjutnya.
Pihaknya menjelaskan, dalam Undang-Undang nomor 1 PNPS tahun 1965 tidak mengatakan terkait adanya agama yang resmi, justru Undang-Undang tersebut menjamin terpenuhinya hak-hak dasar semua umat beragama dan berkeyakinan. Meskipun memang kata dia, dalam penjelasannya disebutkan ada 6 agama.
“Penjelasan itu yang kemudian mempengaruhi paradigma berpikir para pemimpin bangsa kita, termasuk juga pemimpin-pemimpin agama,” tuturnya.
Dalam sesi ini turut hadir ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tuggal Ika, Nia Sjarifudin, Pimpinan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa (MLKI), Engkus Ruswana, dan Ketua Umum Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Bandung, Wawan Gunawan.
Dalam pemaparannya, Engkus Ruswana menyebut bahwa di Indonesia masih terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan. Selain itu, kata dia, belum semua pejabat pengadilan memiliki komitmen dan konsistensi dalam melayani hak-hak penghayat.
“Contohnya ada pada RUU Sisdiknas versi April 2022, di situ sudah ada kausul yang melindungi dan melayani kepercayaan. Namun pada versi setelahnya (Agustus 2022) yang diusulkan ke DPR hilang,” ucapnya. (Vina)