AESENNEWS.COM, Bandung - Kata “manusia” sering dimaknai sebagai suatu hal yang kodrati yang memang merupakan bawaan ketika seseorang lahir maka langsup dianggap menjadi manusia. Tetapi lebih jauh daripada itu apakah hanya dengan kelahiran, seseorang bisa dianggap menjadi manusia yang seutuhnya? Bagi saya tidak sesederhana itu. Manusia sebagai zoon politicon atau makhluk yang selalu hidup bermasyarakat memiliki kewajiban yang jauh lebih luas daripada sekedar lahir sebagai individu. Kehidupan bermasyarakat tidak luput dari berbagai keberagaman yang memaksa seorang manusia harus dapat hidup berdampingan dengan manusia lain. Di Negara Indonesia, pilar utama yang dijadikan pedoman hidup bermasyarakat adalah Pancasila. Sila ke-2 dalam Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” sudah dengan tegas menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat “adil” dan “adab” ini perlu menjadi perhatian.
Kendati demikian, fakta di lapangan menjadi refleksi bagaimana sebenarnya kemanusiaan yang adil dan beradab itu terwujud. Menilik berbagai kasus kejahatan kemanusiaan di Indonesia seperti mutilasi, apakah manusia yang melakukan hal semacam itu masih bisa dianggap sebagai manusia? Bahkan untuk memperlakukan hewan seperti itu pun sangat tidak beradab lalu bagaimana bila itu dilakukan kepada manusia yang seharusnya menjadi rekan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Ironi di masyarakat seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua untuk lebih memaknai diri kita sebagai seorang manusia yang utuh.
Teruntuk generasi muda, harapan-harapan bangsa ini ada pada diri kita, bagaimana bangsa kita mau dikenal di mata dunia semuanya tergantung pada cara kita hidup berbangsa dan bernegara. Menjadi manusia dan memaknai Pancasila seharusnya berjalan beriringan dan seirama. Jangan hanya menjadi manusia yang seadanya, tetapi berusalahah menjadi manusia yang seutuhnya. Maju terus, Indonesiaku. (Oleh: Jane Augustine NPM 6041901107)