AESENNEWS.COM, Bandung, Provinsi Jawa Barat, masih berkutat dengan persoalan-persoalan pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Paling tidak, dalam kurun waktu satu dekade terakhir,terutama yang dihadapi Kota dan Kabupaten Bandung, di mana tindakan, peristiwa, dan kasus-kasus yang berisisan langsung dengan problem intoleransi turut mengemuka dalam konteks pelayanan ruang publik.
Sebagaimana tercatat dalam survei-survei mutakhir (Wahid Foundation, 2020), Setara Institute (2021), daerah-daerah di dalam wilayah administrasi provinsi Jawa Barat kerapkali menempati zona merah dalam konteks angka pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.
Dari keseluruhan catatan yang terdokumentasikan melalui pelbagai peristiwa yang disebutkan di atas, terdapat beberapa kluster isu yang dianggap krusial dalam persoalan hak kebebasan beragama di Jawa Barat, meliputi:
Pertama, kebijakan publik yang diskriminatif, yang terderivasikan pada ruang lingkup seperti penolakan rumah ibadah yang dialami oleh komunitas minoritas agama rentan
Kedua, tindak-tindakan intoleransi yang termanifestasikan dalam ujaran kebencian (hate speech), pelaporan penodaan agama, ataupun penolakan kegiatan keagamaan. Sekurang-lebihnya dalam sepuluh tahun ini, problem tersebut terlihat tak cukup dikatakan mengalami kemajuan.
Pada wilayah lain, Jawa Barat dengan seluruh entitas kebudayaan penyokongnya ini memiliki sejarah panjang dalam mengelola keragaman masyarakatnya yang kaya akan keragaman etnisitas, suku, budaya, agama serta kepercayaan, sebagai modal sosial penting dalam merawat peradaban bangsa ke depan.
Dapat dikatakan pula, gerakan-gerakan sosial yang digawangi oleh kelompok masyarakat sipil di pelbagai wilayah di Jawa Barat, memiliki kontribusi penting dalam merespon problem intoleransi dan kebebasan beragama, dengan seluruh visi, dan inisiatif, dan gerakan tersendiri melalui pelbagai pendidikan lintas iman dan perdamaian.
Di atas semua itu, dibutuhkan sebuah upaya holistik serta kerjasama bersama dalam melihat dan mengidentifikasi kembali masalah-masalah yang dihadapi dalam konteks isu toleransi dan kebebasan beragama.
Dalam diskusi lintas agama yang digelar dibandung ini, Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia PD Jawa Barat atau biasa disebut Pewarna juga turut mewarnai acara tersebut dimana pimpinan jawa barat Romo Kefas Hervin Devananda mengutus anggotanya empat orang diantaranya Asep Supriana, Willy Herman Wahidin, perwakilan cabang Cianjur, serta Sihombing dang Rudi sebagai perwakilan dari pewarna cabang bandung.
Dalam mengkumandangkan pendapat dan pengalaman mengenai hal-hal diskriminatif. Asep Supriana yang biasa di sapa kang Asep ini mengatakan "ketika terjadinya diksriminatif terhadap golongan tertentu, kelompok yang menjadi exsekutor utama ialah kelompok dari luar. Bukan penduduk asli setempat, seperti halnya yang terjadi saat ini saja. Oknum oknum garis keras yang datang dari luar yang menjadi pemecah belah toleransi".
Kalau bisa saya katakan "bandung selatan bukan lagi krisis toleransi, melainkan lebih ke darurat toleransi antar umat beragama". Ucapnya dalam diskusi, pada Sabtu(2/7/22), kemarin.
Pada diskusi kelompok yang di bentuk oleh fasilitator, Asep juga mengatakan "kekhawatiran dari bentuk diskriminatif ini ketika harus terus berlanjut adalah pada sektor publik juga terkhususnya dalam sistem administrasi pembuatan kartu identitas, dimana beliau mengatakan secara gamblang, beliau mengalami hal tersebut di tempatnya, dimana kartu identitas tersebut harus di simpan oleh oknum selama lebih dari dua tahun hanya karena berbeda keyakinan", ini miris, ucapnya.
Editor.
(Willy H.W)