Lampung - Enam mahasiswa mengakui palsukan tanda tangan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Enam mahasiswa palsukan tanda tangan tersebut tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Lampung.
Para mahasiswa palsukan tanda tangan terungkap dalam sidang lanjutan uji materil aturan pengangkatan kepala otoritas Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan siaran sidang kedua Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 yang digelar pada Rabu 13 Juli 2022, terlihat awalnya mahasiswa FH Unila tidak mengaku memalsukan tanda tangan di berkas gugatan.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga Daniel Yusmic P. Foekh mendapati kejanggalan tanda tangan pemohon pada perbaikan permohonan.
Saat itu Arief Hidayat, mempertanyakan kejanggalan tersebut. "Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Ini Saudara ini tanda tangannya tanda tangan betul atau tanda tangan palsu ini?" tanya dia. "Kalau kita lihat kayak gini, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari para pemohon," tambahnya.
Dari lima mahasiswa yang hadir dalam sidang yakni M Yuhiqqul Haqqa Gunadi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, dan Dea Karisna, mengaku asli. Sementara Nanda Trisua Hardianto tidak hadir dalam sidang.
"Benar, itu tanda tangan asli, Yang Mulia," kata mahasiswa. Menanggapi jawaban para Pemohon, Arief tak percaya begitu saja.
Tapi tanda tangannya kok begini? Apa nggak ditandatangani satu orang ini? Benar? Kalau Anda dicek ini tanda tangan palsu, bisa dipersoalkan," tanya Arief Hidayat.
Ketika itu, Hurriyah mulai terlihat menyembunyikan sesuatu dengan menyebut tanda tangan itu tanda tangan digital pakai mouse. "Ya, Yang Mulia. Itu tanda tangan asli, kami menggunakan tanda tangan digital," jawab mahasiswa.
Arief Hidayat masih tidak percaya begitu saja. Saat dihampiri panitera, Arief Hidayat melihat foto kopi KTP dan membandingkan di berkas gugatan. Dua berkas itu diangkat tinggi-tinggi dan meminta kamera memperbesar gambar.
Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya beda antara di KTP dan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana Dea Karisna?" tanya Arief. Tapi si mahasiswa bersikukuh bukan tanda tangan palsu.
"Baik, Yang Mulia. Karena kami menggunakan tanda tangan digital lewat Word, gitu ya. Jadi mungkin memang tidak sesuai sama persis dengan apa yang ada di KTP," jawab mahasiswa.
"nggak, ini palsu atau nggak? Bukan masalah perbaiki. Di dalam persidangan ini, Anda mengatakan ini palsu atau tidak? Atau hanya ditandatangani oleh satu orang? Gimana?" Sahut Arief Hidayat.
Ketika didesak lagi, mahasiswa mulai mengaku ada yang "nitip" tanda tangan. Tapi atas seizin dari pemilik nama. "Dea Karisna dan Nanda Trisua itu memang sebenarnya sudah dengan atas kesepakatan, persetujuan dari yang bersangkutan, kami gunakan," kata dia. "Karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia," kata mahasiswa akhirnya mengakui.
"Empat yang asli dua yang palsu yang mulia," sebut mahasiswa. Setelah mendapati pengakuan para mahasiswa, Arief Hidayat langsung mengambil sikap tegas. Arief Hidayat meminta mahasiswa jangan bermain-main dengan MK.
Jadi Anda itu mahasiswa harus tahu persis, apalagi mahasiswa fakultas hukum. Anda itu berhadapan dengan lembaga negara. Ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara. Anda memalsukan tanda tangan, ini perbuatan yang tidak bisa ditolerir," tegas Arief.
"Anda mengajukan permohonan yang oleh lembaga negara ini dianggap serius, tapi ternyata Saudara memalsukan. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum," kata Arief.
"Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami. Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022," kata mahasiswa.
(Putra)